Penambangan timah PT Koba Tin.

JAKARTA – Pemerintah didesak untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya (KK) PT Koba Tin, karena perusahaan tambang timah itu tidak memberikan manfaat pada negara. Justru sebaliknya, hanya akan menguntungkan investor asingnya yakni Malaysia Smelting Corporation (MSC).

Desakan itu diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Ia meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera menghentikan proses evaluasi KK Koba Tin yang saat ini sedang berlangsung, karena hal tersebut hanya akal-akalan untuk  memperpanjang kontrak kepada asing dalam hal ini MSC.

“Untuk apa kontrak MSC diperpanjang, padahal perusahaan milik negara yakni PT Timah, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Bangka – Belitung (Babel) telah menyatakan siap dan mampu melanjutkan  kegiatan penambangan di wilayah kerja (WK) Koba Tin tersebut,” ujar Marwan di Jakarta awal pekan ini.   

Menurutnya, sikap pemerintah yang masih bersedia mengevaluasi KK Koba Tin, sangat bertentangan dengan kepentingan strategis nasional dan merendahkan martabat bangsa.

“Jika dikelola oleh PT Timah bersama BUMD, seluruh keuntungan tambang akan dinikmati rakyat. Sementara, sepak terjang Koba Tin selama ini justru telah merugikan negara dan PT Timah. Koba Tin telah dengan sengaja melanggar dan melecehkan hukum Indonesia,” tandasnya.

Rugi Cukup Besar

Berdasarkan Laporan Keuangan Koba Tin yang diperoleh IRESS dari Komisi VII DPR RI, ditemukan bahwa pada tahun 2009, 2011 dan 2012 Koba Tin mengalami kerugian cukup besar. Yakni masing-masing US$ 6.084.919, US$ 6.290.379, dan US$ 40.910.000.

Beberapa hal esensial yang dapat dicatat dari Laporan Keuangan Koba Tin adalah sebagai berikut:

             Harga jual produk timah Koba Tin lebih rendah dibanding harga jual PT Timah;

             Terjadi kerugian hedging 5 tahun terakhir, antara US$ 743.000 hingga US$ 2.082.000;

             Tingginya biaya operasional dalam kurun 5 tahun terakhir lebih besar dari 90% terhadap penjualan, dan dalam 2 tahun terakhir telah mengalami rugi operasi;

             Tingginya biaya lain-lain, berupa pembebanan interest expense on advances ke MSC dan pembayaran bunga pinjaman berkisar USD 980 ribu (2011) dan USD 4,8 juta (2008);

             Total aset turun dari US$ 110 juta (2008) menjadi US$ 78 juta (2012). Total utang meningkat dari US$ 56 juta (2008) menjadi US$ 74 juta, atau naik 33%. Sementara ekuitas turun dari US$ 54 juta (2008) menjadi US$ 3,9 juta (2012).

“Dengan kondisi keuangan yang terus memburuk, maka ke depan penerimaan negara berupa pajak akan terus menurun atau hilang sama sekali!,” seru Marwan.

Selain itu, Koba Tin pun akan mengalami kesulitan memenuhi kewajiban keuangan, sehingga ujungnya penerimaan negara akan tidak optimal, dan negara pasti dirugikan.

Berdasarkan Annual Report Koba Tin 2002, nilai penyertaan PT Timah di Koba Tin adalah Rp 65,54 miliar. Sedangkan pada Annual Report 2012, nilai tersebut menjadi nol atau hilang sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa akibat penyelewengan dan rekayasa manajemen Koba Tin, PT Timah telah kehilangan seluruh nilai investasinya di Koba Tin.

“Dalam hal ini saham-saham yang dipegang oleh peserta Indonesia telah diperlakukan secara tidak adil dibanding  saham yang dipegang oleh Malaysia Smelting Corporation (MSC),” kata Marwan lagi.

Pelanggaran Hukum

Patut diduga, lanjut Marwan, buruknya kinerja keuangan Koba Tin dan besarnya kerugian yang dialami negara tak lepas dari adanya kesengajaan dan rekayasa keuangan. IRESS pun mencatat sejumlah pelanggaran hukum yang diduga dilakukan Koba Tin sebagai berikut;

             Melakukan transfer pricing berupa penjualan seluruh produk kepada MSC sebagai induk usaha dengan harga di bawah harga rata-rata jual PT Timah;

             Membayar biaya-biaya untuk pembayaran di muka oleh MSC berupa: a) Management and marketing fee, antara US$ 360,000 hingga US$ 390,000 per tahun; b) “Forward Sales Contract” dalam 5 tahun terakhir antara USD 743 ribu hingga USD 2,082 Juta; c) Pembebanan biaya bunga “interest expense on advances” ke MSC, dan pembayaran bunga pinjaman berkisar USD 980 ribu hingga USD 4,8 juta.

             Menyembunyikan informasi dan kebijakan manajemen kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh Direksi dan Komisaris Koba Tin yang mewakili PT Timah;

             Mengubah komposisi pemegang saham Bemban Corporation Ltd sebagai SPV pemilik Kajura tanpa sepengetahuan PT timah. Menurut Marwan, aksi korporasi MSC ini tidak sesuai etika dunia bisnis yang seyogyanya harus mendapat persetujuan pemegang saham minoritas;

             Mengubah kepemilikan saham pengendali Koba Tin (pemegang saham tidak langsung) tanpa mendapat persetujuan tertulis dari Menteri terkait.

“Memperhatikan berbagai penyelewengan di atas, jangankan memberi perpanjangan kontrak (direncanakan dalam bentuk IUP), membiarkan Koba Tin lolos dari audit investagai dan bebas dari proses hukum pun, sudah merupakan kerugian besar bagi negara, pelecehan bagi sistem hukum dan martabat bangsa! Lantas mengapa pemerintah justru ingin memperpanjang kontrak Koba Tin melalui penerbitan IUP?,” tukas Marwan geram.

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)