JAKARTA – Peraturan Menteri ESDM No 10 tahun 2014 tentang Tata Cara Penyediaan dan Penetapan Harga Batubara untuk Pembangkit Mulut Tambang menimbulkan sejumlah keresahan di kalangan investor. Peraturan tersebut memuat regulasi yang membuka batasan kalori batubara tinggi di atas 3.000 kcal/kg bisa digunakan untuk proyek pembangkit mulut tambang.

Keluarnya Permen ini berimplikasi pada ketidakpastian proses tender proyek Pembangkit Mulut Tambang Sumsel 9 dan 10 yang sedang berlangsung. Sebelumnya, saat prakualifikasi tender dilakukan pembangkit lustrik dengan kapasitas 2×600 MW dan 1×600 MW menggunakan batubara low rank dengan kalori di bawah 3.000 kcal/kg

Bambang Triharyono, Head Business Development PT Pendopo Energi Batubara, menyatakan peraturan ini dikeluarkan tanpa melibatkan semua stakeholders yang ada khususnya pemilik tambang dengan kalori di bawah 3.000 kcal/kg. Pendopo Energi merupakan salah satu peserta tender proyek Sumsel 9 dan 10.
Menurut dia, peraturan ini keluar di tengah proses tender yang sudah berjalan sehingga surat menteri tersebut akan menimbulkan ketidak pastian dalam proses tender yang sudah berjalan. Permen ini akan mengakibatkan proses tender yang menjadi tidak apple to apple apabila peraturan diterapkan.

“Dari kajian teknis dan ekonomis dan ditetapkannya harga batubara dari semua jenis batubara menggunakan harga yang sama yakni berdasarkan cost plus margin maka tambang dengan kalori batu bara di bawah 3.000 kcal/kg akan selalu kalah berhadapan dengan kalori 4.000 kcal/kg,” papar Bambang dalam acara diskusi bertajuk “Urgensi Pemanfaatan Batubara Kalori Rendah untuk Pembangkit Mulut Tambang Terkait dengan Penerapan Permen ESDM No 10 Tahun 2014,” di Jakarta, Selasa (26/8).

Kondisi tersebut, tegas Bambang, akan menyebabkan batubara 3.000 kcal/kg selamanya tidak akan termanfaatkan. “Padahal cadangan batubara kalori rendah sangat berlimpah di daerah,” kata Bambang.
Selain itu, kata Bambang, akibat adanya peraturan ini bankability proyek mulut tambang menjadi pertanyaan lender karena konsep mulut tambang menjadi tidak terintegrasi dan memunculkan biaya transportasi.

Peraturan ini juga tidak menekankan pemanfaatan batubara kalori rendah yang tidak laku dijual untuk diberikan nilai tambah. “Apalagi dengan tidak adanya batasan jarak dalam ketentuan lokasi tambang sebagai supplier pembangkit mulut tambang, maka konsep mulut tambang dalam Permen tersebut menjadi tidak jauh berbeda dengan konsep pembangkit batubara konvensional. “Permen ini dari sisinya sudah debatable,” kata dia.

Jika regulasi ini tetap dipaksakan untuk diterapkan, dampaknya kata Bambang, proses tender dalam pelaksanaan Proyek Sumsel 9 dan 10 mengalami ketidakpastian. “Mengingat proyek Sumsel 9 dan 10 asalah proyek kerjasama Pemerintah Swasta, seharus harusnya pemerintah dan PLN menjaga kepastian hukum dalam proses tender tersebut,” kata dia.

Jika proyek Sumsel 9 dan 10, dipaksakan memakai kategori batubara 4.000 kcal/kg tidak mustahil mengulang kasus PLTU Batang yang tidak kunjung bisa diekesekusi karena terkendala lahan. Pemda Sumnatera Selatan jauh-jauh hari sudah menyatakan tidak akan memberikan izin lokasi dan menyediakan lahan jika proyek tersebut tidak menggunakan batubara di bawah 3.000 Kcal/kg. Sumatera Selatan punya potensi batubara low rank yang luar biasa besar sekita 20 miliar ton yang hanya bisa bernilai ekonomis jika digunakan untuk Pembangkit Listrik Mulut Tambang
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute Esential Services Reform (IESR), mengingatkan bahwa sistem kelistrikan Jawa-Bali terancam mengalami krisis pemadaman yang parah di 2018. Menurut Fabby, ancaman blackout ini berdasarkan pada kondisi kapasitas daya listrik yang dimiliki PT PLN (Persero) pada saat itu diperkirakan akan mengalami defisit karena hingga saat ini belum diketahui siapa yang akan memenuhi kebutuhan 2.000 MW dengan berdasar dari pertumbuhan 5.900 MW per tahun.
“Sampai saat ini belum jelas siapa yang akan bangun. Yang sudah harus dieksekusi saja terlambat, contohnya PLTU Batang yang ditargetkan 2018 kemungkinan gagal juga padahal awalnya ditargetkan mulai operasi 2016,” kata Fabby.
Selain itu, kata Fabby, proyek Sumsel 9 dan 10 diharapkan bisa masuk di 2018 dan 2019 yang terintegrasi dengan proyek Interkoneksi Jawa Sumatera kemungkinan juga mengalami kemunduran. “Padahal sampai saat ini tendernya saja belum selesai, kalaupun tender dilanjutkan belum tentu 2014 mulai dieksekusi karena perlu financial closing paling tidak setahun,” kata Fabby.
Ia menambahkan bahwa jika pemerintah sekarang tidak segera memutuskan maka proyek tersebut bisa mundur lagi. “Ditambah lagi yang membuat kacau itu adalah Permen ESDM No 10 ini yang tidak konsisten ide dasarnya yakni menetapkan harga batubara kalori rendah untuk mulut tambang,” kata Fabby.
Hendra Sinadia, Deputy Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), menambahkan sebagai asosiasi yang membawahi perusahaan-perusahaan batubara, APBI kemungkinan akan mencoba berbicara dengan pemerintah untuk mengkaji terkait regulasi Permen ESDM No 10 tersebut. Menurut dia, dalam jangka panjang perlu disusun roadmap low rank coal melalui konsensus bersama sehingga tidak overlapping dalam kebijakan terkait batubara kalori rendah tersebut. “Jika tidak direspons mungkin kita naikkan ke uji material,” kata dia.
Sementara itu, Jimmy Minata Director of Government Relations PT Adi Coal Resources, salah satu peserta tender Sumsel 9 dan 10 menyatakan ketidak pastian regulasi dalam tender proyek Sumsel 9 dan 10 ini berimplikasi kurangnya kepercayaan investor asing terhadap pemerintah.
“Investor akan sulit memahami apabila regulasi berubah pada menit-menit terakhir, apalagi untuk ikut tender saja sudah menghabiskan dana yang sangat besar.” Tandasnya.**