JAKARTA – Pandemi Covid-19 diyakini menjadi katalisator krisis keuangan yang diprediksikan akan melanda PT PLN (Persero). Namun, apakah pandemi Covid-19 memenuhi syarat sebagai peristiwa “force majeure” yang dapat menghilangkan tanggung jawab ketika para pihak tidak dapat memenuhi kewajiban mereka?

“Dalam hal ini pandemi Covid-19 telah memangkas permintaan daya Listrik sedemikian besar, sehingga pengoperasian normal dan penyerapan pengambilan daya tidak terjadi sewajarnya sesuai yang diharapkan,” ungkap Melissa Brown, Director Energy Finance Studies Asia Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Jumat (1/5).

Melissa menyampaikan perlunya mempertimbangkan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dimungkinkan menjadi prioritas PLN. Dalam laporan Melissa, “Playing With Matches—Who Should Take Responsibility for PLN’s Financial Mess?”, menemukan bahwa IPP yang paling berisiko ketika PLN mencoba untuk membatasi pengeluaran yakni sejumlah IPP besar yang telah memadati jaringan Jawa-Bali selama dekade terakhir. Serta mereka yang sedang menyelesaikan konstruksi di Jawa dan Sumatera.

Melissa menambahkan, risiko terhadap prospek keuangan PLN secara terbuka telah diakui Direktur Utama Zulkifli Zaini. Pasar juga menilai risiko yang lebih tinggi pada obligasi yang beredar, pemberi pinjaman dan investor obligasi secara alami berjuang untuk memahami realitas fundamental PLN.

“Mungkin sudah saatnya lembaga pemeringkat kredit dan investor obligasi menilai kembali risiko ketergantungan berlebihan pada analisis konvensional yang naif terhadap suatu sektor di tengah-tengah perubahan yang mendalam, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global,” tandas Melissa.(RA)