PROTOKOLER Menteri biasanya jeli dan waspada. Tapi kali ini teralihkan. Tanpa ada aba-aba atau pemberitahuan, Arifin Tasrif Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaju dan bermanuver menghindari barisan protokoler. Semua tamu undangan yang hadir terkejut. Seketika Arifin sudah tancap gas meninggalkan halaman bengkel dan langsung memutari kolam berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 15 meter di halaman belakang gedung Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan dan EBTKE (P3TKEBTKE) Kementerian ESDM layaknya pembalap motor Moto GP. Tanpa kebisingan dari motor yang ditungganginya Arifin melaju. Setelah itu Arifin mulai menginjak pedal rem.Tamu undangan menyambutnya sambil masih sedikit terkejut dengan aksi Pak Menteri.

Dalam acara peresmian konversi motor BBM ke listrik itu Arifin memang tampil formal namun santai. Berkemeja putih dengan celana panjang safari hitam serta sepatu berlogo tiga garis kenamaan asal Jerman yang bertipe sepatu outdoor (luar ruangan) atau biasa digunakan untuk hiking maupun trail run, membuat gerakan Arifin lebih lincah.

Menurut Arifin akselerasi motor konversi BBM ke listrik yang ditungganginya sangat baik dan masih sangat bertenaga. Padahal motor tersebut diproduksi sekitar 10 tahun lalu. Ini memang jadi salah satu keunggulan dari motor BBM yang sudah dikonversi jadi motor listrik.

Kementerian ESDM telah meluncurkan pilot Proyek Konversi Sepeda Motor Mesin Penggerak BBM ke Motor listrik. Pelaksanaan program konversi dilakukan pada pertengahan Agustus 2021 secara bertahap sampai dengan akhir November 2021. Obyek pilot project konversi adalah sepeda motor kendaraan operasional yang memiliki Nilai Buku per Juni 2021 nol rupiah. Pilot project ini menargetkan mengkonversi 108 unit sepeda motor yang tersebar di seluruh satuan kerja Kementerian ESDM Wilayah Jabodetabek. Hingga 17 Agustus ini, sebanyak 17 unit telah diserahkan ke P3Tek, selain 10 unit yang sudah diselesaikan konversinya menandai diluncurkannya Pilot Project Program Konversi sepeda motor di lingkungan KESDM.

Manfaat program pilot project konversi 108 unit sepeda motor ini antara lain efisiensi BBM sebanyak 1 liter per hari per unit atau total setahun 34 Kiloliter (KL) per tahun, penurunan emisi CO2 sebesar 0,72 ton per hari per unit atau total setahun sebesar 24,4 ribu ton CO2 per tahun, penambahan konsumsi listrik sebanyak 2 kwh per hari per unit atau total sebesar 72 MWH per tahun (asumsi 340 hari per tahun).

Inisiatif ini tidak lepas dari telah diperolehnya sertifikasi Bengkel Pemasangan, Perawatan, Pemeriksaan, Perakitan instalasi sistim penggerak motor listrik pada kendaraan bermotor Nomor SKET-DRJD 1008.2021 tanggal 30 Juni 2021 kepada P3TKEBTKE dari Dirjen Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan.

Arfie Ikhsan, peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (Balitbang) Kementerian ESDM, menceritakan motor listrik hasil konversi memang memilki tenaga yang lebih besar ketimbang saat motor masih berbahan bakar fosil. “Bisa sampai 100 km per jam kecepatannya,” ungkap Arfie.

Untuk daya tahan baterai sendiri bisa sampai jarak 40 Km dengan kapasitas baterai sebesar 2 kWh. Kapasitas baterai memang disesuaikan dengan mesin. “Untuk mesin 110 CC kebawah itu maksimal 2 kWh diatas 110 CC bisa 3 kWh,” ujar Arfie.

Pemerintah memang telah mematok target tinggi terhadap penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) ditargetkan sebanyak 13 juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada  2030, dengan potensi pengurangan konsumsi BBM sebesar 6 juta kilo liter per tahun dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 7,23 juta ton CO2e. Diharapkan dengan konversi motor BBM ke listrik ini bisa membantu pencapaian target tersebut.

Arifin berharap program yang diinisiasi Kementerian ESDM ini menjadi pemicu inisiatif serupa di Kementerian/Lembaga lain, pemerintah daerah atau BUMN, swasta maupun masyarakat, sehingga penggunaan kendaraan listrik meningkat sekaligus membuka kesempatan bengkel UMKM dan meningkatkan produksi komponen lokal.

Elektrifikasi jadi salah satu agenda utama yang terus digenjot pemerintah. Salah satu sektor yang jadi prioritas adalah transportasi seiring dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Kendaraan listrik juga dijadikan sebagai salah satu bagian dari upaya pemerintah untuk kurangi penggunaan bahan bakar fosil berupa BBM yang sekarang konsumsinya terus meningkat. Selain berdampak buruk terhadap lingkungan karena emisi yang dihasilkan, penggunaan BBM juga terus menggerus keuangan negara karena harus dipenuhi melalui impor. Konsumsi BBM Indonesia sekitar 1,2 juta barel per hari (BPH) sementara kemampuan produksi dalam negeri hanya sekitar setengahnya. Dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi, ketergantungan pada BBM impor akan terus meningkat.

Dalam GSEN, peta jalan menuju kendaraan bermotor listrik juga didukung dengan rencana pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Pembangunan SPKLU dan SBKLU pun didukung oleh penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, sebagai regulasi turunan dari Perpres 55 Tahun 2019.

PT PLN (Persero) jadi aktor protagonis dalam perannya menyediakan SPKLU. Sebagai satu-satunya penyedia listrik bagi masyarakat di tanah air tentu peran sentral PLN jadi krusial dalam kesuksesan membentuk ekosistem kendaraan listrik yang dicita-citakan. Dalam target yang dicanangkan SPKLU harus sudah tersedia di 2.400 titik, dan SPBKLU di 10 ribu titik sampai dengan tahun 2025.

Berdasarkan data Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM untuk tahun ini jumlah SPKLU yang tersedia diseluruh tanah air mencapai 190 unit. PLN sendiri mematok target bisa membangun menyediakan paling tidak 67 unit SPKLU yang tersebar di 45 lokasi di 21 kota.

Untuk bisa mendorong SPKLU lebih banyak lagi, PLN tak sendiri. PLN membuka peluang untuk keterlibatan swasta dalam pengembangan SPKLU kedepan. Dalam waktu dekat, PLN akan meluncurkan website khusus pendaftaran waralaba SPKLU untuk mempermudah calon mitra yang ingin bergabung di bisnis ini.

Peran aktif PLN lainnya dalam mendorong kendaraan listrik adalah PLN bergabung bersama MIND ID, Antam dan Pertamina dalam Indonesia Battery Corporation.

“Langkah-langkah tersebut merupakan upaya PLN untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik yang ramah lingkungan di Indonesia,” ujar Bob.

Sebagai andalan dalam penciptaan ekosistem listrik PLN berinisiatif menggairahkan penggunaan kendaraan listrik melalui berbagai program yang ditujukan ke masyarakat. Salah satunya adalah diskon tarif pengisian daya listrik yaitu harga pengisian daya (charging) mobil listrik di PLN hanya Rp 1.000 per 1 kilowatt hour (kWh). Harga itu didapat saat pengisian daya pada jam 10 malam hingga jam 6 pagi.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen PLN memastikan kesiapan PLN memenuhi berapapun daya listrik yang dibutuhkan pelanggan, termasuk pelanggan yang memiliki kendaraan listrik. Apalagi saat ini PLN memiliki cadangan daya sekitar 50 persen, dengan daya mampu listrik mencapai 57 Gigawatt (GW).

Untuk mendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik, PLN memberikan insentif bagi para pemilik kendaraan listrik berupa diskon tarif 30% pada pemakaian malam hari.

“Mengapa malam hari, karena pengalaman dari banyak negara, pemilik mobil listrik melakukan pengisian daya paling banyak di rumah saat malam hari. Kami memberikan stimulus kepada para pelanggan berupa diskon tarif mulai pukul 22.00 hingga 05.00,” ujar Bob.

Dia menjelaskan, pola pengisian energi kendaraan listrik berbeda dengan kendaraan bermesin bakar. Kendaraan listrik polanya menyerupai pola pengisian daya gawai, malam dicas untuk penggunaan di siang hari.

Dengan pola seperti itu, tentunya daya untuk mobil listrik sebagian besar akan diperoleh dari listrik rumah. Maka wajar jika PLN mendorong pelanggannya untuk memanfaatkan diskon pemasangan dan pengisian menggunakan home charging.

Terlebih lagi, para pemilik Home Charging akan langsung terkoneksi dengan sistem PLN Mobile. Bob menjelaskan melalui PLN Mobile, para pelanggan bisa memantau pengisian daya secara realtime dari ponsel.

Tak hanya itu, kata Bob PLN juga memberikan insentif tambah daya. Bagi para pemilik kendaraan bisa mendapatkan harga spesial sebesar Rp 150.000 dengan tambah daya sampai 11.000 VA dan sebesar Rp 450.000 untuk tambah daya sampai 16.500 VA.

Efisiensi memang jadi salah satu daya tarik utama penggunaan kendaraan listrik. Untuk 1 kWh setara dengan 1 liter bensin untuk mobil. Jika mobil konvensional dengan 1 liter bensin bisa menempuh jarak 10 km, maka untuk pengisian daya mobil listrik hanya 1 kWh, bisa menempuh jarak 10 km. Selain efisien dari sisi biaya keunggulan lain penggunaan kendaraan listrik adalah ramah lingkungan. Untuk 1 liter bensin emisi yang dihasillkan sekitar 2,4 kg. Sementara penggunaan listrik dari PLTU berbahan bakar batu bara 1 kWh menghasilkan emisi 1 kg. Jadi ada penurunan emisi sekitar 50%.

Pada tahun 2030, berdasarkan skenario awal GSEN, diproyeksikan terjadi penghematan devisa akibat pengurangan impor BBM setara 77 ribu BPH yang dapat menghemat devisa sekitar US$1,8 miliar dan menurunkan CO2 sebesar 11,1 juta ton CO2-e.

Untuk mencapai kondisi tersebut, jumlah kendaraan listrik tahun 2030 ditargetkan sekitar 2 juta unit untuk kendaraan roda 4 dan 13 juta unit untuk kendaraan roda 2.

Mobil sedang mengisi daya listrik di SPKLU PLN (Foto/Dok/PLN)

B.I. Gunawan salah satu pengguna motor listrik dari Komonitas Sepeda/Motor Listrik (KOSMIK) mengungkapkan masyarakat sebenarnya antusias untuk menggunakan kendaraan, utamanya motor listrik. Namun tidak jarang hal yang membuat mereka ragu adalah birokrasi untuk mengurus legalitas penggunaan kendaraan listrik.

“Kasih aturan yang jelas tentang regulasi perubahan, jadikan seperti pengurusan KIR. Jadi meski diubah sendiri atau di bengkel yang tidak bersertifikat pun bisa dilakukan asal memenuhi syarat,” kata Gunawan kepada Dunia Energi, Rabu (25/8).

Menurut pria yang akrab disapa Awan, program konversi motor BBM menjadi bertenaga listrik yang didorong memang sah-sah saja dan cukup baik. Namun dia mengingatkan agar program ini disosialisasi secara masif serta didukung kesiapan pengurusan legalitas yang tidak berbelit. Sosialisasi penting karena ujungnya saat konversi memang saat ini masih diperlukan dana yang tidak sedikit. Keekonomian dalam konversi motor BBM ke listrik ini bisa jadi salah satu penghambat juga di lingkungan keluarga.

“Bagus (program konversi motor BBM ke listrik). Hanya perlu sosialisasi lebih mendalam, terutama kepada ibu-ibu. Ya karena mereka masih awam dan bapak-bapak mau konversi juga menunggu persetujuan ibu-ibu,” ungkap Awan.

Keekonomian memang jadi salah satu tantangan utama penggunaan kendaraan listrik baik itu motor konversi ataupun motor listrik langsung. Dia berharap rencana pemerintah untuk membangun industri baterai kendaraan listrik bisa segera terlaksana dan pastinya bisa menekan biaya. “Sebetulnya kalau bikin pabrik sendiri, bisa menekan ongkos. Semoga bisa terlaksana,” kata Awan.

 

Belajar dari Pengalaman

Berdasarkan data hingga bulan Agustus, 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan. Tingkat adopsi ini masih jauh dari target yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian, yaitu kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan roda empat LCEV dan 1.760.000 motor listrik).

PLN tidak bisa bergerak sendiri untuk mewujudkan mimpi menciptakan ekosistem kendaraan listrik di tanah air. Indonesia juga perlu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah terlebih dulu mencicipi manfaat dari terciptanya ekosistem kendaraan masa depan.

Idoan Marciano, Peneliti dari Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam studinya “Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina”, menjelaskan ekosistem kendaraan listrik mencakup beberapa aspek yaitu infrastruktur pengisian daya, model dan pasokan kendaraan listrik, kesadaran dan penerimaan publik, rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik serta insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Kelima aspek ekosistem kendaraan listrik tersebut belum terbangun di Indonesia, sehingga menghalangi adopsi kendaraan listrik

Dalam penelitiannya, Idoan membandingkan Indonesia yang tengah berjuang untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik dengan tiga negara yakni Norwegia, Cina, dan Amerika Serikat. Cina dan Amerika Serikat dipilih karena dua negara ini mencatatkan penjualan kendaraan listrik tertinggi, sedangkan Norwegia adalah negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di dunia.

Menurut Idoan, ketiga negara menunjukkan bahwa insentif fiskal berperan penting dalam adopsi kendaraan listrik dengan membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif.

Pemerintah Norwegia misalnya menerapkan insentif berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, biaya tol, dan lainnya yang bernilai lebih dari US$12.600 per kendaraan secara total. “Atau sekitar 55% dari harga kendaraan listrik itu sendiri yang membuat kendaraan listrik lebih murah daripada kendaraan konvensional,” kata dia.

Selain itu, insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna sangat memotivasi konsumen untuk beralih ke kendaraan listrik. Menurut Idoan beberapa daerah di Cina menerapkan insentif kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik. Cina dan Amerika Serikat juga mengutamakan R&D untuk meningkatkan teknologi dan performa kendaraan listrik, termasuk baterai.

Idoan juga menggaris bawahi bahwa ketersediaan SPKLU jadi syarat utama diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Ketiga negara menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas home charging sangat penting untuk konsumen mau beralih ke kendaraan listrik. Ketiga negara juga memperlihatkan peningkatan jumlah SPKLU yang progresif setiap tahunnya menjadi faktor penentu kenaikan penjualan kendaraan listrik.

Pemerintah di ketiga negara mendukung pengembangan SPKLU dengan pembangunan langsung oleh pemerintah dan subsidi bagi pihak pengembang. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada tahun 2019 di Norwegia dan Amerika Serikat adalah sekitar 24:1 dan 20:1, sedangkan Cina memiliki jaringan SPKLU yang paling masif dengan rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. “Rasio yang lebih kecil diperlukan terutama di tahap awal adopsi kendaraan listrik,” kata Idoan.