JAKARTA – Setelah hampir setahun transisi energi yang akan didanai Just Energy Transition Partnership (JETP) masih belum jelas. Ada beberapa persoalan mendasar terkait transisi energi yang akan didanai JETP yang berpotensi merugikan publik atau bahkan menggagalkan transisi energi secara berkeadilan.

Peneliti AEER (Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat) Alexandra Aulianta, mengatakan persoalan mendasar transisi energi adalah Indonesia masih tergantung pada batu bara.
“Celakanya, sektor batu bara didominasi dengan elite ekonomi yang juga dekat dengan lingkaran politik, baik di pemerintahan maupun di oposisi, sehingga sulit untuk membuat kebijakan terkait dengan energi terbarukan,” katanya, dalam acara diskusi bertema “Anak Muda Menuntut Pemerintah Membuka Informasi Penggunaan Dana JETP Rp 310 Triliun ke Publik”, di Jakarta, Rabu(24/5/2023).

Salah satu persoalan di JETP, lanjut Alexandra, adalah persoalan transparansi. Sampai saat ini kita tidak mengetahui sejauh mana investment plan dari JETP yang sekarang sedang dipersiapkan pemerintah Indonesia. “Persoalan berikutnya adalah dampak dari salah satu project JETP terkait penutupan PLTU batu bara terhadap buruh,” ujar Alexandra.

Selain itu, pengelolaan dana transisi energi, yang berjumlah trilyunan rupiah, masih gelap. Gelapnya pengelolaan dana transisi energi itu mencakup ketidakjelasan komitmen negara-negara donor hingga proyek-proyek yang akan didanai oleh skema JETP.

Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko, menjelaskan bahwa kesimpangsiuran terkait JETP bukan hanya datang dari negara-negara donor tapi juga dari Sekretariat JETP.
“Justru yang muncul di publik adalah wacana-wacana terkait solusi palsu transisi energi dari lingkaran pengambil kebijakan terkait JETP,” ujar Suriadi.

Menurut Suriadi Darmoko, hingga kini Sekretariat JETP tidak memiliki website yang bisa diakses publik.
“Ini adalah preseden buruk bagi keterbukaan informasi publik. Tanpa ada keterbukaan informasi tidak akan ada partisipasi publik,” ujarnya.

Seiring dengan masih banyaknya persoalan yang melingkupi transisi energi dalam JETP tersebut, komunitas Climate Rangers Cirebon mendesak Sekretariat JETP untuk segera membuka informasi dan melibatkan publik dalam pengambilan kebijakannya.

Suriadi Darmoko menekankan bahwa ketidakjelasan informasi terkait JETP menyebabkan potensi transisi energi dibajak kepentingan elite ekonomi-politik.
“Rantai pasok energi transisi energi akan kembali dikuasai elite yang semula justru berbisnis energi fosil,” ujarnya.

Keberpihakan pemerintah terhadap energi terbarukan di tingkat komunitas pun tidak jelas.
“Hingga kini belum ada pernyataan pemerintah berapa porsi dana dari dana JETP yang akan digunakan untuk membangun energi terbarukan di tingkat komunitas,” jelas Suriadi Darmoko.

Dalam kesempatan yang sama Koordinator Climate Rangers Cirebon Ahdi Aghni, mengungkapkan bahwa seiring dengan berjalanya waktu, setelah terjadinya pertemuan G20 di Bali, banyak kejanggalan dan pertanyaan publik terkait pendanaan JETP.
“Tapi hingga kini Sekretariat JETP justru seperti bekerja dalam ruang gelap, tidak ada keterbukaan informasi dan keterlibatan publik,” ungkapnya.

Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, transisi energi menjadi topik yang sangat penting bagi kita semua. Tahun lalu Indonesia telah meluncurkan skema pendanaan transisi energi bernama JETP. Namun, hingga kini belum jelas peta jalan dari proyek-proyek yang didanai JETP. Padahal pendanaan JETP sebagian besar berbasiskan utang luar negeri. Sekretariat JETP yang sudah terbentuk pun seperti bekerja di ruang gelap, tanpa keterbukaan informasi publik, apalagi keterlibatan publik.

Komunitas Climate Rangers Cirebon membuat petisi kepada pemerintah dan Sekretariat JETP untuk membuka informasi dan melibat publik. “Kami mengajak publik untuk terlibat mendesak para pengambil kebijakan energi untuk membuka informasi terkait JETP. Petisi dapat dilihat di Ini shortlink petisinya https://campaigns.350.org/p/BukaInfoJETP,” ujar Ahdi Aghni.(RA)