JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta jangan berhenti menyidik kasus korupsi tunjangan kinerja (Tukin) aparat sipil negara di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, mengungkapkan bahwa sudah ditetapkan oleh KPK beberapa orang yang menjadi tersangka dan ada kerugian negara puluhan miliar.

“Jika menilai dari nilai kerugian yang diucapkan oleh Kabag pemberitaan KPK Fikri Ali dihadapan awak media pada hari Senin (27/3/2023) benar adanya, kami malah berpendapat kasus ini receh untuk KPK dari ukuran operasi tambang yang dikelola oleh Ditjen Minerba.
Yang menarik, hanya adanya informasi bahwa sebagian hasil korupsi tukin ini telah digunakan untuk kepentingan oknum pemeriksa BPK RI, selain digunakan untuk diri sendiri oleh pelakunya,” ungkap Yusri, Selasa (28/3).

Yusri mendesak KPK harus usut serius keterlibatan oknum BPK lainya.

Sebab, kata dis, sejak 2012 hingga setidaknya tahun 2017 sudah dibentuk Kordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba antara KPK dengan Kementerian ESDM, artinya KPK sangat paham anatomi tata kelola di Ditjen Minerba, termasuk sangat memahami Direktorat yang basah dan setengah basah hingga kering di Ditjen Mineba, termasuk mengetahui pos pos yang rawan terjadinya praktek kongkalikong yang berpotensi merugikan negara.

Seperti diketahui, tujuan awalnya Korsup Minerba saat itu dibentuk, adalah untuk menertibkan adanya tumpang tindih lUP yang kala itu ada 10.827 IUP yang tercatat di Ditjen Minerba KESDM, akibat produk dari PP nomor 75 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan pengelolaan sektor minerba kepada Pemda di tingkat Kabupaten Kota, dikenal produknya CnC ( Clear & Clean) dan tercantum di MODI (Mineral One Map Indonesia).

“Selain itu, jangan-jangan korupsi tukin bisa terjadi akibat fungsi Inspekur Jenderal Kementerian ESDM yang tupoksinya mengawasinya dianggap impoten, lantaran tidak bisa mendeteksi korupsi tukin ini katanya sudah berlangsung dari tahun 2020 hingga saat ini,” ujar Yusri.

Oleh sebab itu, lanjut Yusri, KPK harus bisa dan mampu mengungkap kasus big fish disektor pertambangan ini setelah kasus Ferdi Sambo jadi terpidana, kala itu terkuak secara telanjang diberbagai media adanya aliran dana haram mafia tambang ke oknum penegak hukum yang bertindak sebagai backingnya, dari level Polsek hingga Mabes.

Menurut Yusri, harusnya KPK menjadikan kasus korupsi tukin sebagai pintu masuk untuk bisa mengungkap kasus lain yang big fish di Ditjen Minerba, dimulai dari dugaan kongkalikong antara pemilik tambang dengan oknum pejabat terkait di Ditjen Minerba yang bisa dijerat dengan pidana korupsi, yaitu dalam penentuan kuota produksi setiap perusahan didalam penerbitan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) setiap tahunnya.

“Mengingat ada tambang yang tidak layak produksi lagi, tetapi anehnya diterbitkan persetujuan RKABnya, bisa jadi dokumen terbang inilah yang digunakan oleh penambang ilegal, lebih dikenal penambang koridor. Infonya dokumen terbang itu diperjual belikan oleh pemilik tambang dengan harga USD 10 permetrik ton bagi pemain koridor yang membutuhkannya agar bisa di ekspor batubaranya,” ungkap Yusri

Lebih lanjut Yusri menyampaikan bahwa sudah menjadi rahasia umum, bagi pengusaha tambang besar maupun kecil yang tidak punya akses ke pejabat di Ditjen Minerba, jangan pernah bermimpi bisa mudah mendapat persetujuan RKAB, banyak kasus terjadi RKAB baru keluar menjelang akhir tahun.

“Makanya calo RKAB bertopeng konsultan tambang saat ini tumbuh pesat, lazimnya jadi kaki tangan pejabat yg berwenang menyetujui RKAB, biar cantik mainnya. Beda halnya penambang yang punya hubungan khusus, pada awal bulan Januari sudah keluar persetujuan RKAB dan sangat mudah merevisi untuk penambahan kuota pertengahan tahun,” ujarnya.

Sehingga, kata Yusri, KPK juga harus menelisik adanya dugaan kongkalikong praktek lancung dalam perpanjagan PKP2B dan Kontrak Karya menjadi IUPK, harus bisa diungkap oleh KPK paska lahirnya UU Minerba nomor 3 tahun 2020, yang kami anggap penuh kontroversial.

Sebab, dari besar dan luasnya kewenangan yang dimiliki Ditjen Minerba KESDM dibidang operasi pertambangan, maka ada potensi puluhan triliun diduga bocor setiap tahunnya dari praktek kotor akibat tidak sesuainya data produksi yang tercatat di E-PNBP di Ditjen Minerba dengan realisasi yang tercatat di KSOP (Kesyahbandaran Sistem Operasi Pelabuhan) Kementrian Perhubungan dan data di Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan.

Adanya praktek transfer pricing yang dilakukan penambang harus jadi obyek penyidikan, yaitu rekayasa penambangan dengan menurunkan kadar batubara maupun nikel untuk mengurangi jumlah setoran nilai kewajiban PNBP, tentu sangat merugikan negara.

“Luasnya kewenangan Ditjen Minerba, Termasuk kewenangan didalam memberikan rekomendasi alokasi ekspor kepada setiap penambang infonya ada tartifnya, jika tidak rekomendasi Ditjen Minerba, maka Ditjen Perdangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan tidak akan menerbitkan izin ekspor,” ungkap Yusri.

Kewenangan itu, meliputi pembinaan dan pengawasan serta penertiban, dimulai sejak dari penerbitan dan peningkatan serta rekomendasi pencabutan status perizinan usaha tambang berlangsung.

“Mengingat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPTAK mengungkapkan pada media (21/1/2023), bahwa ada lebih dari Rp 1 triliun dana hasil penambang ilegal yang mengalir ke partai politik, seharusnya data ini bisa digunakan KPK untuk membuka kotak pandora di Ditjen Minerba.
Sekarang bola ada di KPK, publik hanya menunggu apa langkah selanjutnya dari pimpinan KPK, apakah cukup mengungkap kasus tukin saja disidik atau mau bergerak ke hulu untuk mengungkap big fish seperti harapan Dewas KPK, rakyat monitor,” ujar Yusri.(RA)