JAKARTA – Rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Rabu (18/3), melalui video conference memutuskan penetapan harga gas bumi menjadi rata-rata US$6 per MMBTU di plant gate konsumen dan akan efektif berlaku per 1 April 2020. Fahmi Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada dan Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas, mengatakan penetapan harga gas bumi hingga US$6 per MMBTU sesungguhnya lebih besar biayanya dibanding keuntungan yang diperoleh. Biaya tersebut harus ditanggung pemerintah, sektor hulu dan sektor midterm.

“Biaya yang ditanggung pemerintah adalah melepas pendapatan dari sektor hulu sebesar US$2,2 per MMBTU yang akan menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam jumlah yang besar,” kata Fahmi, Rabu.

Menurut Fahmi, penurunan PNBP juga akan menurunkan pendapatan Pemerintah Daerah (Pemda) dari pendapatan bagi hasil, yang besarannya diperhitungkan berdasarkan PNBP.
Sementara biaya yang akan ditanggung sektor hulu adalah pemangkasan harga jual, yang akan menjadi potential lost hingga mengurangi margin yang sudah ditargetkan pada saat penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) saat awal investasi di hulu migas. Dampaknya, pemangkasan harga jual itu akan menjadikan investasi di sektor hulu migas menjadi tidak kondusif lagi.

“Biaya yang ditanggung di sektor midterm adalah penurunan biaya transmisi dan biaya distribusi. Serta biaya pemeliharaan yang berpotensi menjadikan Perusahaan Gas Negara  tidak hanya merugi, tetapi juga menghambat PGN dalam pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu ke hilir,” ungkap Fahmi.

Untuk benefitnya penetapan harga US$ 6 per MMBTU, belum tentu menaikkan daya saing industri. Alasannya, beberapa variabel biaya lain, termasuk pajak, masih membebani industri, selain efisiensi dan produktivitas industri masih tergolong rendah.

Fahmi mengatakan, alasan bahwa penurunan harga gas untuk PT PLN (Persero) akan mengurangi kompensasi dan subsidi listrik merupakan argumentasi yang tidak mendasar. Pasalnya, proporsi gas dalam bauran energi pembangkit listrik hanya 15%, sedangkan proporsi terbesar masih didominasi oleh batu bara sebesar 57%. Pada saat pemerintah menetapkan DMO harga batu bara US$70 per metric ton saat harga dunia mencapai US$100 per metric ton, juga tidak menurunkan kompensasi dan subsidi listrik.

Fahmi menekankan, berdasar pada pertimbangan lebih besar biaya ketimbang benefit, maka pemerintah jangan gebabah memaksakan penetapan harga gas US$6 MMBTU untuk seluruh industri.

“Sebaiknya keputusan itu dibatalkan saja. Penetapan harga gas sebesar US$ 6 per MMBTU seharusnya hanya diperuntukan untuk tujuh industri strategis saja, bukan seluruh industri. Yang terdiri dari industri pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet, seperti diatur dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi,” tandas Fahmi.(RA)