JAKARTA – Pemerintah telah memberikan restu kepada Pertamina untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax karena harga jual saat ini masih di bawah harga batas atas yang mencapai lebih dari Rp14.000 per liter. Besaran kenaikan harga Pertamax yang diambil Pertamina juga bisa menjadi momentum untuk mengambil pasar dari kompetitor yang harganya telah lebih dulu dinaikkan.

“Mungkin Rp12 ribu per liter. Kalau mau ambil pangsa pasar kompetitor, ya harganya di bawah itu. Tapi bergantung pada Pertamina dan pemegang saham (pemerintah),” ujar Massita Ayu Cindy, Peneliti Sektor Energi dari Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), dalam diskusi soal BBM dengan media secara virtual, Selasa (22/03).

Belum terang kapan Pertamina kapan akan menyesuaikan harga BBM dengan kadar oktan (RON) 92 tersebut. Padahal, harga saat ini, yaitu Rp9.000 per liter, masih sangat rendah dibandingkan harga jual dari pesaing. Misalnya, harga terakhir BBM RON 92 per awal Maret 2022 dari pesaing Pertamina adalah Rp11.900-Rp12.990 per liter. Harga Pertamax bahkan tidak pernah naik sejak lebih dari dua tahun lalu.

Massita mengatakan PYC belum melakukan perhitungan detail untuk harga yang cocok bagi Pertamax. Namun, harga yang pas seharusnya pada titik dimana konsumen tidak akan beralih ke energi subtitusi.

Dia juga menegaskan kenaikan harga Pertamax yang terlalu tinggi berpotensi memicu perpindahan konsumsi ke Pertalite, BBM dengan kadar oktan 90 yang tidak masuk kategori Penugasan. Pertamina juga diminta mempertimbangkan aspek psikologi masyarakat jika ingin menaikkan harga Pertamax sama seperti produk sejenis dari kompetitor. “Saya khawatir konsumen akan migrasi ke Pertalite,” ujarnya.

Bila migrasi itu yang terjadi, lanjut Massita, tidak hanya mengganggu keuangan Pertamina tapi juga pemerintah karena harus mengeluarkan subsidi lebih besar. Hal ini dipengaruhi oleh konsumen BBM Pertamina yang majemuk. Bagi masyarakat level menengah atas, kenaikan harga Pertamax tidak akan banyak berpengaruh. Berbeda halnya dengan masyarakat menengah bawah. “Perekonomian saat ini memang sudah mulai naik, tapi belum stabil sepenuhnya,” kata dia.

Massita mengungkapkan sejak 2019 hingga saat ini tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kebijakan harga BBM. Harga dasar mengkuti Argus dan MOPS dan di evaluasi per tiga bulan. Pada 2020 ada sedikit perubahan di perumusan harga saja.

Berdasarkan kajian PYC, harga BBM sesuai harga minyak dunia menunjukkan fluktuasi global, kecuali Premium sama sekali tidak mengikuti fluktuasi harga minyak global.

Anomali terjadi sejak awal 2021, Shell sudah mulai naik, Pertamax Turbo sudah mulai naik, namun Pertamax 92 masih stagnan sampai sekarang. Padahal seharusnya Pertamax juga mengikuti harga minyak global.

“Sebetulnya BBM jenis umum kewenangan harga sepenuhnya di badan usaha. Pertamax ini kan BBM jenis umum, jadi sebetulnya harga sepenuhnya kewenangan Pertamina, “ katanya.

Secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara Arya M Sinulingga, mendukung rencana Pertamina menaikkan harga Pertamax. Dengan harga saat ini, Pertamax adalah BBM RON 92 paling murah di kelasnya yang dikonsumsi oleh penggunaa kendaraan kelompok menengah atas. “Dengan harga saat ini, Pertamina telah menyubsidi Pertamax. Dan ini jelas artinya, Pertamina subsidi mobil mewah yang memakai Pertamax,” ujar Arya.

Menurut dia, hal ini perlu kalkulasi ulang agar ada keadilan jangan sampai Pertamina memberi subsidi besar kepada mobil mewah yang memakai Pertamax. Pertamina disarankan untuk mengkaji ulang berapa harga yang pantas bagi Pertamax yang dikonsumsi oleh mobil mewah. “Ini untuk keadilan semua,” katanya. (RA)