JAKARTA – Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera menerbitkan Standard Operating Procedure (SOP) pengelolaan fly ash dan bottom ash (FABA) yang disusun bersama pelaku usaha. Saat ini aturan main pemanfaatan FABA itu telah masuk tahap finalisasi.

“SOP pengelolaan FABA ini nantinya dapat dijadikan acuan bagi seluruh kegiatan PLTU dalam mengelola FABA. Dengan demikian FABA akan dikelola dengan baik, sehingga selain aman bagi lingkungan, juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara,” ujar Rida, Jumat (2/4).

Menurut Rida, dalam draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, penambahan pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan mencapai 41 GW. Dari jumlah tersebut, PLTU masih mendominasi sekitar 36% atau 14-15 GW.

“Memperhatikan kondisi penyediaan tenaga listrik saat ini, PLTU batubara merupakan pembangkit listrik pemikul beban dasar (base load) yang akan beroperasi terus-menerus selama 24 jam dan menjadi tulang punggung pasokan tenaga listrik nasional,” kata Rida.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, FABA dari kegiatan PLTU tidak lagi masuk menjadi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Hal tersebut sesuai dengan hasil uji karakteristik beracun Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan lethal dose LD-50. Di samping itu, hasil uji kandungan radionuklida pada FABA PLTU juga menunjukkan nilai konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari tingkat kontaminasi radioaktif yang dipersyaratkan.

“Dengan dikeluarkannya FABA dari limbah B3, maka akan semakin terbuka luas pemanfaatan FABA,” ujar Rida.

Ia mengatakan perlu adanya akselerasi pemanfaatan FABA yang dapat berupa dukungan kebijakan yang dapat mendorong pemanfaatan FABA secara masif, sehingga dapat memberikan keuntungan bagi negara dan mengurangi permasalahan lingkungan akibat jumlah timbunan FABA.

Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia 2020 yang menyatakan penggunaan beton dengan campuran FABA secara ekonomi dapat menurunkan biaya dibanding dengan biaya untuk membuat beton konvensional. Hal itu tentu memberikan efisiensi anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp4,3 triliun sampai dengan tahun 2028, serta berpotensi menyerap tenaga kerja pada usaha kecil dan mikro.

Namun demikian Rida menegaskan pelaku usaha harus bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan FABA dengan mengedepankan prinsip berwawasan lingkungan. “Pelaku usaha juga wajib memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 dan aturan turunannya yang tengah disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Rida.(RI)