JAKARTA – Pemerintah diminta hati-hati menyikapi penurunan harga minyak dunia yang terjadi dalam waktu sangat cepat belakangan ini. Perlu kebijakan yang cermat dalam merespon berbagai perubahan yang terjadi di dunia internasional sehingga sebabkan fluktuasi harga yang cukup hebat.

Benny Lubiantara, Deputi Kajian dan Opini  Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan Indonesia harus menyikapi harga minyak rendah dengan hati-hati. Dalam jangka pendek, sebagai negara net importir minyak, harga murah tentu hal yang positif. “Namun disisi lain harga murah dapat mendorong terjadinya konsumsi yang berlebihan atau tidak efisien,” kata Benny kepada Dunia Energi, Selasa (10/3).

Pada perdagangan Selasa, harga  minyak mentah berjangka Brent naik US$2,36 menjadi US$36,72 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 1,87 menjadi US$ 33 per barel.

Benny mengungkapkan dengan kondisi harga minyak yang rendah dapat membuat investasi hulu migas menjadi kurang menarik. Implikasinya, dalam jangka menengah, ketika harga minyak merayap naik, maka kesenjangan konsumsi dan produksi akan semakin menganga dan hal itu sangat berbahaya bagi Indonesia karena akan semakin rentan bagi ketahanan energi.

“Harga minyak rendah ini bisa jadi semacam “jebakan batman” yang harus diantisipasi dengan respon kebijakan yang tepat,” kata Benny.

Menurut pria yang pernah menjadi analis kebijakan fiskal OPEC ini, ada pola yang berbeda dalam penurunan harga minyak kali ini dengan yang pernah terjadi pada medio 2014-2015 lalu.

Harga minyak turun pemicunya kali ini kata Benny diakibatkan kombinasi dua hal, pertama, menurunnya permintaan minyak karena resesi atau krisis finansial, kedua, meningkatnya produksi minyak global sehingga pasar kelebihan pasokan. OPEC berperan menstabilkan harga lewat manajemen pasokan, namun hal ini tidak efektif apabila tidak didukung oleh negara Non OPEC yang produksinya besar seperti Rusia.

Saat ini permintaan minyak global juga melemah dipicu oleh kekhawatiran mengenai penyebaran wabah Covid-19 yang tentu berdampak terhadap ekonomi global. Harga minyak semakin anjlok ketika OPEC dan Non OPEC tidak mencapai kesepakatan penurunan produksi untuk antisipasi turunnya permintaan tersebut, yang berbuntut “perang harga” antara dua negara produsen besar Arab Saudi dan Rusia.

Agak berbeda dengan penurunan harga di tahun 2015 yg pemicu utamanya kelebihan pasokan minyak dari produsen baru seperti shale oil Amerika Serikat, kalau pemicunya kelebihan pasokan, maka price recovery berlangsung lebih lama (lower for longer).

“Kalau pemicunya permintaan turun akibat krisis finansial, kekhawatiran terhadap wabah covid 19 yang berdampak terhadap perekonomian, biasanya permintaan akan segera pulih ketika permasalahan tersebut berakhir. Masalahnya saat ini pertanyaan semua orang, kapan urusan wabah Covid 19 ini berakhir?,” kata Benny.

Siapkan Insentif

Menurut Benny, jika penurunan harga ini berlangsung lama atau paling tidak sepanjang tahun ini maka kemungkinan akan penyesuian target-target hulu migas yang dipicu oleh perubahan strategi serta kebijakan perusahaan dalam berinvestasi.

Seperti pengalaman ketika harga minyak turun di tahun 2015, biasanya akan ada penyesuaian, biaya sektor hulu akan turun tapi tidak instant, ada jeda waktu antara harga minyak turun dengan biaya turun. Insentif mungkin diperlukan untuk membuat proyek tetap menarik.

“Pencapaian target produksi akan tergantung mekanisme penyesuaian ini dan terobosan lain. kalau berlangsung smooth, kemungkinan target masih dapat dicapai,” katanya.

Benny mengatakan ketika harga minyak turun, negara negara akan merespon dengan penawaran rezim fiskal yang lebih baik dan kemudahan bisnis lainnya, seperti tambahan split, Investment Credit, fasilitas pajak, percepatan proses persetujuan, izin, kemudahan eksekusi di lapangan dan lain lain.

“Ini kita harus kita antisipasi dengan respon kebijakan yang pas, jangan sampai ketinggalan kereta,” kata Benny.(RI)