JAKARTA – Sejak Februari lalu sudah diimplmentasikan perdagangan karbon untuk subsektor ketenagalistrikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Pemerintah harus konsisten dalam penerapannya karena ke depan perdangan karbon harus bisa diperluas cakupannya tidak hanya bagi pembangkit listrik.

Paul Butarbutar, Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization, mengungkapkan langkah pemerintah menerapkan uji coba perdagangan karbon bagi PLTU pada awal tahun ini harus disambut positif.

Penerapan perdagangan karbon untuk subsektor ketenagalistrikan ini merupakan katalis untuk perdaganan karbon dengan cakupan lebih luas.

“Harapannya, ntar ini akan diperluas ke pembangkit fosil lain, baru masuk ke industri,” kata Paul kepada Dunia Energi, Kamis (27/4).

Paul menegaskan selama itu tujuannya untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia maka sebaiknya dibuka kesempatan sebesar-besarnya untuk pelaku usaha untuk berpartisipasi.

“Termasuk didalamnya kalau harus menjual sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan di Indonesia ke luar negeri, karena itu akan menghasilkan devisa, dan dapat digunakan untuk menurunkan emisi GRK domestik,” jelas Paul.

Kefektifan kebijakan ini menurut Paul harus dievaluasi pada akhir tahun nanti. “Sementara ini belum kelihatan dampaknya, tetapi dengan kebijakan tersebut akan terlihat nanti di akhir tahun berapa besar emisi yang dihasilkan oleh setiap PLTU. laporan baru akan terlihat sekitar Januari, tapi pendataan atau penerapan itu akan terlihat menjelang akhir tahun dan tahun berikutnya,” kata Paul.

Lebih lanjut menurut dia jika memang tahun ini pergangan karbon belum optimal merupakan hal wajar termasuk untuk tahun depan. Tapi pemerintah tidak boleh menghentikan program tersebut. Dia optimistis seiring berjalan waktu berbagai kelemahan implementasi perdagangan karbon bisa diperbaiki, karena pada dasarnya kebijakan ini sudah memiliki fundamental yang jelas.

“Nanti akan kita lihat yang lebih baik mulai 2025. Harapannya sih akan bertahan lama, karena basisnya kan UU 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan,” jelas Paul.