JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan memanfaatkan gas suar dengan optimal sebelum 2030. Untuk mengejar target tersebut, Global Gas Flaring Reduction (GGFR), World Bank digandeng.

Soerjaningsih, Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Migas Kementerian ESDM, mengungkapkan beberapa kerja sama yang akan dilakukan terkait pemanfaatan gas suar diantaranya cara untuk memonetisasi menggunakan teknologi skala kecil atau skala mikro LNG, Micro GTL, Metanol, CNG atau pembangkit listrik yang dapat dipindahkan. Selain itu, ada juga beberapa mekanisme pembiayaan yang dapat mempercepat pemanfaatan gas suar.

“Kami berkomitmen untuk belajar dan bekerja sama dengan World Bank dan stakeholders lain untuk mempercepat pengurangan gas suar,” kata Soerjaningsih, Jumat (14/9).

Flaring atau gas suar merupakan gas yang dihasilkan pada kegiatan eksplorasi dan produksi atau pengolahan minyak dan gas bumi, yang dibakar karena tidak dapat ditangani fasilitas produksi atau pengolahan yang tersedia, sehingga belum termanfaatkan.

Disisi lain konstitusi mengamanatkan untuk memanfaatkan sumber daya alam (SDA) secara efisien. Pemerintah telah menerbitkan peraturan mengenai gas suar melalui Peraturan Menteri ESDM (Permen) Nomor 31 Tahun 2012 tentang pelaksanaan pembakaran gas suar bakar (Flaring) pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi, yang mewajibkan perusahaan untuk mengurangi gas suar. Serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2017 tentang pemanfaatan dan harga jual gas suar pada kegiatan usaha hulu migas.

Menurut Soerjaningsih, selain teknologi dan pembiayaan maka kebijakan dan regulasi juga sangat penting untuk memonetasi gas suar. “Oleh karena itu pemerintah juga siap memperbaiki regulasi yang telah ada apabila diperlukan,” kata dia.

World Bank telah mencanangkan Zero Routine Flaring by 2030. Target tersebut membuat koordinasi antara pemerintah, perusahaan minyak dan lembaga pembangunan harus ditingkatkan dalam rangka menghilangkan gas suar rutin tidak lebih dari 2030.

Pasalnya, gas suar menyumbang perubahan iklim dan lingkungan melalui emisi CO2, Black Carbon, dan pollutant lainnya. Gas suar juga membuang energi bernilai yang dapat digunakan untuk memajukan pembangunan berkelanjutan bagi negara penghasil.

Ahmad Lutfi, Kepala Seksi Keselamatan Lingkungan Migas, mengungkapkan Indonesia telah menjadi endorser (pendukung) dan menjadi bagian untuk tercapainya Zero Routine by 2030.

“Dukungan tersebut juga merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk berkontribusi dalam Reduce Green House Gas (GHG) Emission sebagaimana diamanatkan pada Paris Agreement dalam Conference of the Parties (COP) 21,” ungkap Lutfi.

Berdasarkan data satelit yang diluncurkan oleh GGFR World Bank, Indonesia menempati peringkat 15 gas suar dari eksplorasi dan kegiatan produksi. Pada 2017, gas Indonesia dari kegiatan eksplorasi dan produksi berkontribusi atas Flaring Routine rata-rata sebesar 179 MMSCFD.

Soerjaningsih mengatakan ukuran gas suar rata-rata per satu lokasi (lapangan) sebenarnya cukup kecil yaitu 1–5 MMSCFD. Gas Suar tersebut telah dimanfaatkan untuk LPG Sekayu, Bekasi, Cirebon dan CNG di Sidoarjo..

“Dengan volume gas suar yang sangat sedikit, sebenarnya merupakan tantangan tersendiri baik dari sisi keteknikan maupun finansial,” tandasnya.(RI)