JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diminta aktif merespon keluhan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang banyaknya pelaku usaha yang justru membangun pembangkit listrik sendiri dan tidak mengambil listrik dari PT PLN (Persero).

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan kondisi banyaknya pembangkit listrik, selain milik PLN merugikan perusahaan pelat merah itu. Apalagi ditengah minimnya serapan listrik seperti sekarang ini.

Jika pembangunan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri ini masih terbuka, maka kelebihan pasokan listrik PLN tidak akan cepat terserap. ApalagiĀ  kondisi kelistrikan PLN, khususnya Pulau Jawa, tengah kelebihan pasokan.

“Kalau kondisi ini tidak disikapi dengan cepat akan memberatkan PLN. Apalagi di tengah kondisi keuangan PLN yang masih tertekan utang, yang menurut pengakuan dirutnya mencapai angka Rp500 triliun,” ungkap Mulyanto, Rabu (7/10).

Menteri BUMN Erick Thohir telah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Kepala BKPM untuk membantu kinerja operasional dan keuangan PLN. Caranya, dengan membatasi pemberian izin usaha penyediaan listrik dan captive power.

Captive power merupakan kondisi di mana sebuah perusahaan diizinkan mengelola dan menyediakan sumber pasokan listrik sendiri, di luar pasokan dari PLN.

Menurut Mulyanto di tengah pandemi Covid-19, permintaan listrik industri yang sebelumnya sudah turun semakin anjlok, sementara pelaksanaan proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW tetap berlangsung.

“Karena itu, keseimbangan supply dan demand listrik ini harus diatur, jika tidak surplus listrik ini akan semakin lebar,” kata dia.

Mulyanto mengatakan dengan sistem kontrak pembelian listrik dari Independent Power Producer (IPP) atau pembangkit listrik swasta berlaku klausul TOP (take or pay), dimana memakai atau tidak, listrik yang mengalir harus dibayar PLN maka jika kelebihan pasokan ini semakin lebar, biaya yang harus dibayar PLN semakin tinggi. Kalau ini terus berlangsung, maka akan mendongkrak tarif listrik untuk masyarakat.

Adanya pembangkitkan listrik untuk pemakaian sendiri ini, menyebabkan potensi pemasukan PLN jadi berkurang.

Berbagai upaya harus diambil secara sinergis antar berbagai kementerian terkait, agar terjadi penguatan dalam layanan di sektor kelistrikan termasuk penguatan PLN.

Di sisi lain PLN sendiri harus meningkatkan kinerja dan efisiensi pelayanannya. Jangan sampai ketika lembaga atau badan usaha menggantungkan kebutuhan listriknya pada PLN, ternyata keandalan listrik PLN lemah atau harga listrik cenderung naik.

“Ini akhirnya merugikan mereka (PLN),” tukas Mulyanto.

Dalam UU No. 30/2009 tentang Ketenaglistrikan diatur ketentuan mengenai usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. Bahkan dikuatkan dalam RUU Cipta Kerja, bahwa hal itu dapat dilakukan baik oleh instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan dan lembaga/badan usaha lainnya selama hanya untuk pemakaian sendiri. Serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik tersebut wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Menurut PLN saat ini kapasitas captive power mencapai lebih dari 2.000 MW. Jika sebesar 75% dari total kapasitas captive power tersebut dibatasi dan dialihkan ke PLN atau sekitar 1.500 MW dengan capacity factor sebesar 50%, maka menurutnya ini akan meningkatkan penjualan listrik sebesar 6,57 tera watt hour (TWh) dalam kurun waktu satu tahun.

Dalam data PLN menunjukan bahwa penjualan listriknya dalam satu tahun rata-rata sebesar 240 TWh. Ini berarti, jika penjualan naik sebesar 6,57 TWh, maka akan ada kenaikan penjualan listrik sebesar 2,7%-3% dalam setahun.

“Artinya dengan pengambilalihan captive power ini, akan meningkatkan kemampuan jual listrik PLN, dan makin membuatnya efisien,” kata Mulyanto.(RI)