JAKARTA – Guna memastikan penerapan aturan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 yang mengatur tata niaga bijih nikel dalam negeri. Pemerintah akan membentuk satuan tugas (Satgas) guna memastikan transaksi jual-beli bijih nikel dari para penambang ke smelter.

Yunus Saefulhak, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, mengungkapkan satgas ditargetkan segera terbentuk dan mulai bulan depan sudah bisa menjalankan tugasnya dalam mengawasi transaksi bijih nikel di smelter agar mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM). Pemerintah menegaskan akan memberi sanksi kepada pihak yang melanggar ketentuan dalam transaksi jual beli mineral utamanya nikel.

“Oh iya, (bulan depan) sudah bisa berjalan dan tegas Mungkin baru bulan depan akan keluar sanksi-sanksi tersebut,” kata Yunus dalam konferensi pers virtual, Senin (20/7).

Pemerintah akan memberikan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin.

Yunus mengatakan satgas terdiri dari pihak Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Koordinasi dengan pihak Kemenperin menjadi salah satu kunci utama lantaran ada smelter yang perizinannya terbit dalam bentuk Izin Usaha Industri (IUI) yang diterbitkan Kemenperin. Satgas akan memberikan hasil pengawasan atau rekomendasi sedangkan peringatan hingga sanksi akan dikeluarkan oleh pemberi izin.

“Yang punya kewenangan memberikan peringatan dan sanksi sesungguhnya institusi yang memberikan izinnya. Seperti IUP OPK pengolahan dan pemurnian di kita, IUP penambang berarti ESDM. Kalau dari IUI maka Kemenperin,” jelas Yunus.

Harga jual-beli bijih nikel dengan mengacu pada HPM ini merupakan formulasi yang lebih adil bagi penambang maupun smelter. Penetapan HPM pada Permen ESDM No. 11/2020 telah mempertimbangkan Harga Mineral Acuan (HMA) yang berlaku secara internasional.

Harga bijih nikel yang mengacu pada HPM pasti di atas Harga Pokok Produksi (HPP) dari penambang. Sehingga, tetap memberikan margin keuntungan bagi penambang maupun pengusaha smelter.
Yunus menjelaskan bahwa HPP nikel rata-rata berkisar di angka US$ 20 – US$ 22 per ton. Dengan harga rata-rata bijih di level US$ 28 – US$ 30 per ton, kata Yunus, penambang masih memiliki margin profit sekitar 34%, sedangkan untuk smelter sekitar 33%.
“Ini sudah mempertimbangkan kedua belah pihak, baik penambang maupun smelter. Itu artinya (harga nikel domestik mengacu pada HPM) sudah ada di posisi yang tengah,” kata Yunus.

Pemerintah memastikan, harga bijih nikel yang mengacu pada HPM pasti di atas Harga Pokok Produksi (HPP) dari penambang. Sehingga, penambang maupun pengusaha smelter tetap masih menikmati margin keuntungan.(RI)