JAKARTA – Kebutuhan energi di Indonesia diperkirakan sebesar 1.050,3 juta barel setara minyak. Penggunaan sumber energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 Megawatt (MW) setara 85,31 % dari total kapasitas terpasang nasional.

Pada posisi pertama ada batu bara yang menjadi sumber listrik utama di Indonesia. Jumlah kapasitas pembangkit listrik terpasang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mencapai 35.216 MW atau setara 49,67 % dari total kapasitas nasional 70.900 MW.

Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, mengatakan bahwa rencana pembangunan beberapa PLTU baru dengan kapasitas total 35.000 MW, baik di dalam maupun luar Jawa, akan memicu peningkatan kebutuhan batu bara di dalam negeri. Pembakaran batu bara akan menghasilkan limbah berupa fly ash dan bottom ash (FABA).

“FABA yang dibiarkan menumpuk atau terbang dalam waktu yang lama dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan seperti pencemaran,” kata Redi, dalam diskusi virtual,Selasa (23/3).

FABA telah ditetapkan menjadi Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa material FABA yang menjadi limbah nonB3 hanya dari proses pembakaran batu bara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, seperti antara lain PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker. Sedangkan dari Fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap katagori Limbah B3 yaitu Fly Ash kode limbah B409 dan Bottom Ash kode limbah B410.

Dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan telah diatur bahwa pengelolaan limbah harus melaksanakan prinsip kehati-hatian atau precautionary principle oleh penghasil atau jasa pengolah atas seluruh jenis limbah baik limbah kategori limbah B3 ataupun limbah nonB3 yang meliputi upaya pengurangan limbah atau Waste minimisation; pengelolaan dari mulai dihasilkan hingga ditimbun atau From cradle to grave; pengelolaan dengan prinsip ekonomi sirkular atau From cradle to cradle; penghasil bertanggungjawab atas pencemaran atau Polluter Pay; kedekatan pengelolaan limbah dengan lokasi pengolahan atau Proximity; dan pengelolaan berwawasan lingkungan atau Environmentally Sound Management.

Di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa, India dan beberapa negara lain hal ini bukanlah sesuatu yang baru dan mereka tidak memasukan FABA ke dalam kategori limbah B3.

Berdasarkan hasil uji laboratorium independen atas Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) yang sample-nya berasal dari beberapa PLTU, FABA yang dihasilkan tidak mengandung unsur yang membahayakan lingkungan.

Beberapa Laboratorium telah melakukan uji kimia dan biologi atas FABA, antara lain laboratorium Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Kementerian ESDM bersama Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran. Beberapa pengujian toxicology-pun menunjukkan bahwa abu batu bara (FABA) yang diteliti dapat dikategorikan sebagai limbah tetapi bukan B3.

Meskipun telah menjadi limbah non B3, seluruh syarat persetujuan lingkungan dipenuhi sesuai standar dan ketentuan Nasional yang telah mengacu pada standar prosedur internasional Best Available Techniques (BAT) dan Best Environmental Practices (BEP).

Redi mengatakan pengelolaan FABA harus tercantum dalam dokumen lingkungan. Pencemaran lingkungan hidup akibat pengelolaan FABA harus dikenai sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana. “Pembinaan dan pengawasan pengelolaan FABA oleh pemerintah mesti ketat,” kata Redi.(RA)