Sofyan Basir, Direktur Utama PLN (kiri) dan Ignasius Jonan, Menteri ESDM (tengah) saat berdiskusi dengan media di Kementerian ESDM, Selasa (6/3).

JAKARTA – Pemerintah memproyeksikan 3.280 megawatt (MW) dari proyek pembangkit 35 ribu MW akan beroperasi komersial (commercial operation date/COD) pada 2018.

Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero), mengatakan target tersebut merupakan target yang dicanangkan PLN dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) pada tahun ini. Target tersebut meningkat  hampir dua kali lipat dari realisasi 2017 yang mencapai 1.362 MW.

“Untuk 35 ribu MW tahun ini target RKAP mencapai 3.280 MW, yaitu COD didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas kecil, serta beberapa pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT),” kata Sofyan dalam diskusi bersama media di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Selasa (6/3).

Selain sudah COD sebesar 1.362 MW, sejauh ini pembangkit yang sudah konstruksi mencapai 17.116 MW, pembangkit yang sudah PPA (Power Purchase Agreement/PPA) yang belum konstruksi 12.639 MW, yang telah memasuki tahap pengadaan 3.364 MW dan memasuki tahap perencanaan 1.254 MW.

Sofyan memastikan meskipun pembangkit yang rampung belum mencapai 10% dari target, akan tetapi  penyaluran listrik sama sekali tidak akan terganggu karena kapasitas saat ini dinilai sudah mumpuni untuk mememuhi kebutuhan listrik nasional.

Hingga 2017 kapasitas terpasang pembangkit PLN telah mencapai 60 Gigawatt (GW) dan untuk tahun ini ditargetkan mencapai 65 GW.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan keseluruhan pembangunan mega proyek 35 ribu MW akan rampung pada 2024-2025. Target tersebut didasari pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak sesuai dengan harapan saat proyek pertama kali digulirkan yang diharapkan mampu melewati 7%, namun realisasi saat ini hanya mencapai 5% dalam dua tahun terakhir.

“Kapan akan selesai semua, 2024 – 2025. Telat tidak? Saya kira tidak karena pertumbuhan ekonomi 5%,” kata Jonan.

Dia menambahkan pembangunan pembangkit disesuaikan dengan kebutuhan listrik karena jika dipaksakan untuk tetap dibangun tapi demand terlalu sedikit dari pada supply maka yang akan dirugikan adalah PLN, karena ada ketentuan take or pay.

“Kalau PLN tidak bisa jual listrik PLN, tetap harus bayar. Kalau kelebihannya besar yang nanggung ini siapa,” ungkap Jonan.

Dia pun menegaskan pemerintah sepakat untuk memundurkan target  penyelesaian proyek 35 ribu MW hingga maksimal selama enam tahun dari target awal 2019 dengan catatan tidak akan ada gangguan terhadap distribusi listrik kepada masyarakat. “Target 2024-2025 ditarik sepanjang jaminan listrik tersedia,” tukas Jonan.

Menurut Jonan, butuh waktu untuk membangun pembangkit listrik terutama yang memiliki kapasitas besar seperti PLTU. Untuk itu wajar jika progress pembangkit yang COD belum banyak karena untuk membangun satu pembangkit berkapasitas diatas 400 MW butuh waktu 4-5 tahun.

“Inikan  dimulai pertengahan 2015 atau baru berjalan paling tidak 2,5 tahun. Kalau kontrak besar-besar tidak mungkin selesai 3 tahun,” tandas Jonan.(RI)