Mobil yang kami tumpangi berbelok dari jalan raya Trans Flores saat terlihat papan penunjuk menuju Kampung Adat Saga, sekitar 23 kilometer dari Ende. Namun, kampung yang memiliki 22 buah rumah adat yang tersusun apik bertingkat di atas puncak bukit dan rumah (Sa’o) Nggua/Keda yang hanya diperuntukkan bagi para tetua adat tersebut bukan tujuan perjalanan ini. Destinasi yang dituju adalah lokasi pembangunan  Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi  (PLTP) Sokoria, yang letaknya sekitar 13 kilometer dari jalan raya.

Menyusuri jalan yang hanya belasan kilometer itu bukan perkara mudah. Sokoria, yang terletak di Kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende,  dipagari Gunung Keli Nebe di sebelah timur; Keli Kiku di sebelah barat; Pegunungan Rate Bake dan Mutu Busa serta Ae Moka di sebelah utara; dan hamparan hingga Laut Sawu, Pantai Ngalo Polo di sebelah selatan. Hampir satu jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi, menyusuri jalan menanjak, menurun, dan penuh kelokan tajam.

Wilayah Sokoria sudah lama terisolasi karena tidak ada akses jalan. Dahulu, penduduk bepergian ke daerah lain dengan berjalan kaki atau naik kuda jika membawa beban.  Keterisolasian wilayah itu mulai terkikis pada periode 1990 setelah dibangun jalan. Panjang dan lebar jalan itu pun tidaklah seberapa. Untuk menuju lokasi PLTP, misalnya, yang sepanjang 13 kilometer itu, merupakan jalan desa, jalan Taman Nasional (TN) Kelimutu, dan jalan proyek.

Pada beberapa bagian jalan kondisinya rusak parah.  Lebar jalan juga tidak sama sehingga di beberapa titik mobil yang bersimpangan harus berjalan bergantian. Mendekati TN Kelimutu, banyak terlihat sapi yang dilepas di pinggir jalan. Beruntung, pemandangan sepanjang jalan yang sisi kiri dan kananya banyak ditanami pohon kemiri, cengkeh, vanili, dan cokelat tersebut cukup indah sehingga perjalanan tidak membosankan.

Sekitar lima kilometer dari papan penunjuk jalur trekking menuju Danau Kelimutu di area TN Kelimutu, di lembah tampak kesibukan pekerja membangun PLTP Sokoria. Total kapasitas PLTP Sokoria direncanakan mencapai 30 Megawatt (MW) pada lima tahun mendatang.  Untuk tahap pertama akan masuk ke sistem kelistrikan Flores sebesar 5 MW pada Februari 2020. Saat ini, PLTP yang dikembangkan oleh PT Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) itu sedang dalam tahap pembangunan dengan progres mencapai 50 persen.

Head of Corporate Affair PT SGI Syahrini Nuryanti mengatakan pihaknya optimistis dapat memenuhi target penyelesaian pembangunan PLTP Sokoria tepat waktu.  “Sekarang sedang tahap pembangunan dan konstruksi pembangkit. Kalau sumur geothermal-nya sudah dilakukan pemboran sejak 2017. Total sudah lima sumur yang dibor,” ujarnya, saat ditemui di lokasi pembangunan, pekan lalu.

PLTP akan menjadi pemasok utama listrik di NTT pada tahun-tahun mendatang. (L Hermawan/Dunia Energi)

Perusahaan menghabiskan dana sekitar US$5 juta untuk mengebor satu sumur. Dia menambahkan,nantinya akan ada total tujuh sumur geothermal yang dioperasikan untuk memasok pembangkit listrik. “Kami juga mengebor sumur reinjeksi untuk memasukkan air yang dihasilkan dari proses pengeboran sehingga kondisi lingkungan tetap terjaga dan bisnis ini akan berkelanjutan sekitar 30 tahun mendatang,” katanya.

PLTP yang dikembangkan oleh anak usaha ORKA, perusahaan asal China-Islandia ini, akan menjadi pemasok listrik panas bumi terbesar di Flores. PLTU Sokaria merupakan proyek ORKA kedua setelah mengembangkan panas bumi di wilayah Mandailing Natal, Sumateta Utara. Adapun PLTP eksisting yang beroperasi di Flores saat ini adalah PLTP Ulumbu ADB berkapasitas 2 x 2,5 MW dan PLTP Ulumbu APBN 2 x 2,5 MW.

PT PLN (Persero) membeli listrik yang dari SDI seharga US$0,12 per KwH. Kehadiran PLTP Sokoria, jelas Lambok, akan membantu menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, khususnya di wilayah Flores. Imbasnya, rata-rata BPP di NTT yang rata-rata mencapai Rp2.542 per KwH akan ikut menyusut. “Dengan harga pembelian listrik yang kompetitif,  jelas tarif listriknya sangat terjangkau. Tingginya BPP di NTT tersebut sebagai imbas dari penggunaan PLTD yang masih mendominasi di wilayah ini,” kata Manager Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Flores PT PLN (Persero), Lambok R Siregar, di lokasi pembangunan PLTP Sokoria.

PLN sangat berharap proyek panas bumi ini rampung tepat waktu untuk  membesar porsi pasokan  listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) di Flores, Nusa Tenggara Timur. PLTD rencananya akan dipensiunkan pada 2028 dan digantikan dengan pembangkit yang ramah lingkungan. Pengurangan penggunaan PLTD juga akan membuat keuangan PLN lebih sehat lantaran pasokan 1 MW dari PLTP akan menghilangkan kebutuhan solar sekitar 2 juta kiloliter.

Pada saat ini, di Flores dan sekitarnya penggunaan EBT sudah mencapai 18,29 persen dari target bauran energi sebesar 23 persen pada 2024.   Panas bumi menjadi salah satu andalan sumber EBT, terutama di Pulau Flores, “Penyelesaian proyek PLTP Sokoria akan membuktikan bahwa Flores memiliki sumber panas bumi yang potensial,” kata  Lambok.

Dia menuturkan saat ini komposisi bauran energi untuk kelistrikan di Flores berasal dari PLTU sebesar 10,35 persen, PLTD 48,7 persen, PLTMG 22,64 persen, PLTS 0,56 persen, PLTMH 4,28 persen dan PLTP 13,44 persen. Khusus untuk pembangkit EBT total mampu menghasilkan listrik sebesar 20 MW. Adapun daya mampu keseluruhan pembangkit di Flores mencapai 112 MW dari total kapasitas terpasang 190 MW. Sementara beban puncak mencapai 85 MW. “Beban puncak terjadi sekitar jam 7 malam. Ini membuktikan bahwa konsumsi terbesar listrik di Flores adalah rumah tangga,” tuturnya.

Harta Karun

Panas bumi sebenarnya merupakan harta karun yang akan membawa berkah bagi warga NTT, khususnya Pulau Flores.  Sebagai upaya untuk mendukung percepatan pengembangan panas bumi di Pulau Flores (Program Flores Geothermal Island), Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) bersama dengan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Ngada pada Oktober 2019 menginisiasi gelaran forum bisnis.

Potensi panas bumi di NTT  tercatat sebesar 1.276 MWe dimana 776 MWe di antaranya terdapat di Pulau Flores. Oleh karena itu Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi, melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017. Dari 12 wilayah prospek panas bumi, ada tiga wilayah yang telah mendapat izin pengelolaan Wilayah Kerja Panas Bumi dari Menteri ESDM, yaitu Ulumbu, Mataloko dan Sokoria.

Sasaran penetapan Flores Geothermal Island adalah pemenuhan kebutuhan listrik dasar (baseload) di Pulau Flores dengan memaksimalkan potensi panas bumi serta pemanfaatan panas bumi secara langsung (direct use) sebagai peningkatan nilai tambah hasil pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Direktur Jenderal EBTKE FX Sutijastoto mengungkapkan bahwa forum bisnis ini dimaksudkan untuk mencari peluang pengembangan bisnis yang mampu menciptakan demand bagi pembangunan pembangkit listrik berbasis panas bumi.

Saat ini pengembangan ekonomi terbesar NTT berasal dari industri pariwisata, pertambangan, kelautan, serta panas bumi. Terdapat 11 perusahaan tambang mineral di Kabupaten Manggarai dan membutuhkan tambahan daya listrik cukup besar. Salah satunya pengolahan smelter mangan, yang membutuhkan energi 10 MW.

“Penciptaan demand (demand creation) di Flores diperlukan mengingat apabila pengembangan panas bumi di Flores khususnya untuk pembangkitan tenaga listrik hanya mengikuti pertumbuhan demand secara alami, maka pemanfaatan sumber daya panas bumi tidak akan optimal,” tuturnya, seperti dikutip dari laman www.esdm.go.id.

Lambok  mengatakan angka tersebut masih merupakan taksiran kasar dan masih membutuhkan studi lebih lanjut.   Dalam delapan tahun ke depan, untuk memanfaatkan potensi panas bumi di Flores, PLN akan mengembangkan lima PLTP lagi untuk memperkuat keandalan pasokan listrik. Kelimanya adalah, PLTP Ulumbu 5 berkapasitas 20 MW pada 2024, PLTP Mataloko 2×10 MW (2024), PLTP Ulumbu 6 sebesar 20 MW (2027), PLTP Oka Ile Ange 10 MW (2028), dan PLTP Atadei 10 MW (2025-2027).

Dukungan juga datang dari Badan Litbang Kementerian ESDM. Mereka menggandeng Eastern Indonesia Geothermal Consortium dalam rangka percepatan pengembangan panas bumi di NTT. Eastern Indonesia Geothermal Consortium terdiri dari North Tech Energy, Turboden SpA dan SATE Ltd, yang berminat mengembangkan lapangan panas bumi di Flores. Kerjasama itu ditandai dengan penandatanganan MoU pada awal 2019.

Kerja sama konsorsium dengan Badan Layanan Umum (BLU) di Badan Litbang ESDM dimaksudkan untuk memfasilitasi investasi konsorsium dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi. “BLU Badan Litbang ESM dapat bermitra dengan Badan Usaha melalui Kerja Sama Operasi (KSO) ataupun Kerja Sama Manajemen (KSM) untuk ikut mempercepat investasi panas bumi,” kata Kepala Badan Litbang ESDM Sutijastoto dalam keterangan tertulisnya.

Konsorsium berinisiatif mengembangkan potensi panas bumi menggunakan teknologi dan metodologi yang lebih efisien dan murah, yakni teknik slim hole drilling pada pengeboran eksplorasi maupun produksi. Untuk tahap produksi, konsorsium akan menggunakan turbin dengan teknologi wellhead turbine yang langsung dipasang di atas sumur panas bumi. Turbin dapat disesuaikan dengan karakter tiap sumur, baik temperatur maupun tekanannya. “Teknologi ini tepat untuk lapangan panas bumi berukuran kecil dan kebutuhan listrik yang tidak terlalu besar,” ujar Sutijastoto.

Konsorsium terbagi dua kelompok, yakni kelompok penyedia jasa (service provider) dan penyedia ekuitas (equity provider). Service provider terdiri dari ISOR (Badan Geologi Pemerintah Islandia) dan HIVOS. ISOR berpengalaman melakukan pemetaan di bawah permukaan tanah, analisa data 3G, penentuan target pengeboran dan pendampingan selama pengeboran.

HIVOS adalah lembaga swadaya internasional Belanda yang berperan menyiapkan masyarakat di lokasi pengembangan panas bumi. HIVOS memberikan persiapan dan pelatihan di tingkat masyarakat untuk membentuk unit usaha yang memanfaatkan suplai listrik dari panas bumi dan pengembangan rumah tangga yang teraliri listrik.

Para pihak yang tergabung dalam equity provider adalah North Tech Energy (NTE) BV, Turboden SpA, EMO dan Infunde Capital. NTE BV berperan sebagai service provider dan equity provider. Turboden SpA adalah produsen turbin dengan teknologi organic rankine cycle (ORC), FMO (Bank Pembangunan Pemerintah Belanda) memberikan pembiayaan pengembangan panas bumi.

Infunde Capital berperan sebagai pengembang lapangan panas bumi dengan mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dan memastikan semua proses sesuai dengan kaidah bisnis yang baik. RVO adalah lembaga di bawah Kementerian Hubungan Ekonomi Belanda yang berperan dalam pemberian insentif kepada pihak swasta melalui Asuransi Risiko Sumber Daya.

Vice President Public Relations dan CSR PLN, Dwi Suryo Abdullah, menambahkan dalam mengembangkan sistem kelistrikan di NTT dan sekitarnya, PLN mempertimbangkan potensi daerah yang tersedia. “Panas bumi di Flores potensinya besar itu yang dikembangkan. Begitu juga juga tenaga matahari, itu cocok untuk kebutuhan di pulau-pulau yang kecil,” katanya.

Dia berharap sejumlah pengembangan infrastruktur kelistrikan di Flores dapat membantu cita-cita pemerintah mencapai rasio elektrifikasi 100 persen secara nasional pada 2020. Hingga Oktober 2019, rasio elektrifikasi di NTT baru menyentuh angka 84,68 persen. Namun, angka ini jauh lebih baik dibandingkan dengan capaian 2018 yang masih sebesar 62,88 persen. (LH)