JAKARTA – Dalam rangka meningkatkan iklim investasi panas bumi di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyusun skema insentif berupa biaya penggantian (reimbursement cost) untuk aktivitas eksplorasi dan insentif pengembangan infrastruktur panas bumi.

FX Sujiastoto, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pengembangan listrik panas bumi memiliki karakter risiko dan biaya investasi yang tinggi. Pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) lebih terjangkau.

“Selama ini yang menjadi salah satu kendala pengembangan panas bumi adalah harga jual listrik yang belum ekonomis. Dengan pemberian insentif dan kompensasi harga EBT di masyarakat menjadi terjangkau, dan keekonomian bagi pengembang dapat tercapai,” kata Sutijiastoto dalam acara diskusi yang digelar secara virtual, pekan lalu.

Menurut Sutijastoto, jika aturan diimplementasikan dengan baik, maka biaya produksi listrik yang dihasilkan dapat ditekan dan menambah gairah iklim investasi. Hal ini, juga akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

Kementerian ESDM memproyeksikan bila aturan terkait insentif dan kompensasi diimplementasikan, maka akan ada penurunan harga panas bumi sekitar US$2,5 – US$4 sen per kilo Watt hour (kWh).

Sutijiastoto mengatakan aturan insentif dan kompensasi akan masuk dalam draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan pembelian listrik EBT oleh PT PLN (Persero). Nantinya, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.

Usulan insentif untuk pengembangan listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dana insentif biaya eksplorasi akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pemerintah terus melakukan akselerasi pemanfaatan EBT dengan menyiapkan berbagai regulasi pendukung. Hal ini menyusul potensi llistrik EBT yang besar sekitar 442 Gigawatt (GW) dan baru terimplementasi sebesar 2,4% atau 10,4 GW.

Khusus panas bumi, potensinya di Indonesia mencapai 23,9 Giga Watt (GW) dan sudah terealisasi produksi listrik hingga Mei 2020 sebesar 8,17% atau 6.494 Giga Watt hour (GWh).

Direktorat Jenderal EBTKE (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM akan membentuk tim pengawasan dan pengolahan bersama Badan Geologi dan unsur profesional seperti perguruan tinggi, untuk memantau proses mekanisme pengembalian biaya kompenasasi eksplorasi panas bumi agar berjalan dengan lancar.

“Ada tim teknis dari Ditjen EBTKE, Direktorat Panas Bumi bekerjasama dengan Badan Geologi. Nanti kami juga di backup tenaga ahli profesional dari perguruan tinggi setempat, misalnya UI, ITB,” tandas Sutijastoto.(RA)