JAKARTA – Indonesia diperkirakan akan membutuhkan dana transisi sebesar $37 miliar untuk menghentikan 118 pembangkit listrik batu baranya (PLTU) lebih awal dan sejalan dengan target nol bersihnya.Nilai tersebut merupakan temuan terbaru dari analisis lembaga TransitionZero. Analisis tersebut juga menemukan bahwa dengan menghentikan PLTU batu bara Indonesia pada tahun 2040 akan menghasilkan penghematan emisi sekitar 1,7GtCO2, setara dengan hampir tiga tahun emisi tahunan Indonesia.

Sebagai BUMN, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki target nol bersih (Net Zero Emissions/NZE) pada 2060 dan Indonesia memiliki sejumlah tujuan iklim yang berfokus pada dekarbonisasi sektor listrik. Namun, struktur pasar listrik, khususnya Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) yang dikombinasikan dengan subsidi bahan bakar fosil, telah lama menjadi kendala dalam penerapan energi terbarukan.

Seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia telah menyatakan pentingnya pendanaan dari negara-negara maju untuk mendukung transisi energi bersih. Secara historis, paket pendanaan tersebut merupakan gabungan antara uang publik dari negara-negara donor, bank internasional dan dana moneter, serta keuangan swasta. Skema pendanaan internasional bernama Just Energy Transition Partnership (JETPs) untuk Indonesia diharapkan dapat diumumkan pada G20 mendatang, berdasarkan skema pendanaan transisi energi yang bagi Afrika Selatan yang telah diumumkan pada KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow pada 2021.

Anggaran $37 miliar diperlukan untuk membeli pembangkitan batu bara masa depan hingga 10 tahun dan hal itu juga akan membuat Indonesia menghentikan PLTU batu bara yang ada pada tahun 2040, lebih awal dari yang direncanakan.

Sebagai perbandingan, subsidi batu bara Indonesia telah merugikan negara lebih dari $10 miliar pada tahun lalu saja, sementara proyek penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan (carbon capture, utilization and storage/CCUS) pertama di Indonesia, yaitu Vorwata CCUS BP, yang ditaksir mampu menangkap dan menyimpan 25 juta ton CO2, diperkirakan menelan biaya $3 miliar.

Sektor ketenagalistrikan Indonesia bergantung pada batu bara dengan sekitar 70% listrik domestik dihasilkan dari batu bara pada tahun 2021. Indonesia juga merupakan pengekspor batu bara termal terbesar secara global. Selain itu, sektor ini mempekerjakan sekitar 250.000 orang, yang sebagian besar adalah pekerja berketerampilan rendah.

Namun, analisis tersebut menemukan bahwa mengganti PLTU batu bara Indonesia dengan tenaga surya akan menciptakan 5 pekerjaan baru untuk setiap hilangnya 1 pekerjaan langsung di pembangkit listrik, dengan catatan bahwa peningkatan keterampilan dan pelatihan ulang akan menjadi bagian penting dari rencana transisi.

Analisis tersebut juga mengidentifikasi sejumlah pembangkit batu bara yang sesuai untuk program pensiun dini ini, berdasarkan faktor-faktor seperti biaya pensiun, dampak pada sistem jaringan yang ada, emisi gas rumah kaca, tekanan air, dan polusi udara. Termasuk di antaranya adalah PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan, PLTU Paiton di Jawa Timur, dan PLTU Banten Suralaya di Banten.

Jacqueline Tao, Analis di TransitionZero, mengatakan sektor ketenagalistrikan Indonesia sangat kompleks dan energi terbarukan adalah industri yang baru lahir di negara ini. Untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan, analisis kami menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan dana transisi sebesar $37 miliar untuk mendukung penghapusan PLTU batu bara, khususnya, untuk mengganti nilai pembangkit batu bara yang kini beropeasi hingga 10 tahun ke depan.

Pendanaan ini akan sejalan  dengan target nol bersih Indonesia dan tujuan iklim internasional, serta akan mendukung Indonesia dalam upayanya untuk menghentikan penggunaan batu bara lebih dini  sesuai dengan mandat dalam Perpres 112/2022, serta lepas  dari ketergantungan pada batu bara.

“Secara khusus, temuan kami mengidentifikasi sejumlah pembangkit yang cocok untuk pensiun dini dan menyoroti potensi terciptanya pekerjaan  di pembangkit listrik energi terbarukan yang akan menggantikan pembangkit batu bara, dimana jumlah pekerjaan baru akan melebihi jumlah  pekerjaan yang hilang akibat penutupan pembangkit  batu bara dengan rasio 6 banding 1,” kata Jacqueline, Kamis (13/10).

Namun, solusi penutupan pembangkit batu bara itu rumit dan pendekatannya perlu disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi serta kondisi ketenagalistrikan negara tersebut. rencana penghentian batu bara harus terukur, layak, terjangkau, dan adil bagi semua pemangku kepentingan dan masyarakat yang terlibat, terutama bagi negara-negara seperti Indonesia, yang menjadikan ekstraksi bahan bakar fosil sebagai pusat pembangunan ekonomi. Selain itu, rencana peningkatan keterampilan ulang dan pelatihan pekerja sangat penting untuk memastikan transisi yang mulus dan adil bagi pekerja.

“Itulah sebabnya kami membuat Coal Asset Transition (CAT) Tool, yang dapat  mendukung pembuat kebijakan dan investor menentukan pembangkit batu bara untuk rencana pendanaan transisi energi khususnya bagi pembiayaan pensiun dini dan menggantinya dengan sumber energi terbarukan menggunakan prinsip data terbuka. Kami berharap tracking tool kami akan digunakan untuk memulai percakapan tentang risiko dan peluang yang terkait dengan keputusan tersebut,” ungkap Jacqueline. (RI)