JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mendata paling tidak sebanyak 40 ribu barel minyak tercecer di sekitar perairan teluk Balikpapan akibat kebocoran pipa milik perseroan yang mengalirkan crude oil dari terminal Lawe – Lawe ke kilang Balikpapan.

“Volume tumpahan belum dihitung secara detail, tapi indikasinya sekitar 40 ribu barel, kurang lebih. Detailnya nanti tunggu investigasi,” kata Toharso, Direktur Pengolahan Pertamina di Gedung DPR Jakarta, Selasa (10/4).

Dia menambahkan selama insiden, operasi di terminal Lawe-lawe secara otomatis langsung berhenti. Pasokan untuk kilang Balikpapan pun dipenuhi dari kapal tanker. Meski aktivitas pompa distop, Pertamina tidak bisa langsung melakukan perbaikan terhadap kerusakan pipa tersebut.

“Pipa dari teminal lawe-lawe distop, pada hari itu juga. Tapi ditemukannya putus (pipa) itu baru dua hari, dia putus kira-kira 30 cm dari ujung ke ujung. Untuk mencari di bawah laut, mencarinya enggak mudah karena visualnya hanya 30-50 cm,” ungkap Toharso.

Saat ini Pertamina telah kembali menyambungkan pipa dari Lawe Lawe yang berukuran 20 inchi dengan pipa dari terminal Tanjung yang berukuran 16 inchi.

Terhentinya pasokan crude dari terminal Lawe-Lawe jelas mempengaruhi kegiatan di kilang Balikpapan. Pasalnya pasokan crude paling banyak berasal dari terminal itu. Alhasil aktivitas kilang menurun hingga 70% selama kurang lebih selama dua hari. Untuk mengganti pasokan yang berhenti dari pipa, Pertamina menggunakan kapal tanker sehingga langsung beroperasi normal setelah mendapat pasokan tambahan dari kapal.

Toharso menegaskan jika dalam kondisi normal, kilang Balikpapan bisa mengolah minyak dengan kapasitas mencapai lebih dari 200 ribu barel per hari (bph). Namun dengan kejadian ini kemampuannya menjadi hanya kurang dari 200 ribu bph.

“Hanya dua hari paling. Habis itu normal. Sekitar 70% dari kapasitas kilang 260 ribu bph, berarti sekitar 185 ribu bph. Kalau produksi normal kan di atas 200, ribuan bph. Hanya dua hari aja,” kata dia.

Toharso mengakui proses penanganan kebocoran pipa membutuhkan waktu karena usia fasilitas pipa yang telah lebih dari 20 tahun. Berbeda dengan teknologi yang sudah berkembang seperti sekarang. Alat kontrol yang ada tidak seperti sekarang. Sementara  peralatan control sistem kilang justru telah diperbaharui jadi begitu ada pressure sedikit gangguan maka mesin akan berhenti dan mati. Kemudian di kilang terdapat control system MOV (Motor Operated Valve) dimana ketika ada gangguan juga akan langsung shutdown. Namun seluruh sistem itu belum diterapkan pada pipa dari terminal Lawe- Lawe.

“Terus terang yang ini belum sebagus itu shutdown valvenya, dia masih manual. Tapi ada tandanya, maka kami matikan. Kalau teknologi baru begitu ada pressure misalkan, langsung drop pipeline langsung berhenti semua. Ini kan pipa lama. Jadi emergency response system ada tapi manual,” ungkap dia.

Belajar dari insiden ini, Pertamina  segera berbenah untuk memperbaharui seluruh sistem sehingga Emergency Response System (ERS) bisa lebih optimal.

“Ke depan kami akan pasang ERS pakai sistem seperti digital. Jadi begitu pressure turun, Jadi begitu pressure turun, dia langsung block, kami sudah desain untuk pakai itu,” tandas Toharso.(RI)