JAKARTA – Pemerintah membuka peluang menerapkan kebijakan kewajiban penyaluran gas untuk domestik (Domestic Market Obligation/DMO). Tidak hanya dari sisi kewajiban volume penyaluran, kebijakan DMO nantinya juga bisa mengikuti apa yang sudah diterapkan pada batu bara yakni dari sisi harga jual.

“Bisa saja (DMO), Iya (seperti batu bara), bisa saja,” kata Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Dunia Energi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Arifin, pemerintah terbuka untuk mengkaji rencana DMO gas, namun aturan tersebut harus berdasarkan pada kondisi neraca gas. “Harus lihat gas balance (neraca gas),” tegas Arifin.

Kebijakan DMO gas semakin didengungkan lantaran kondisi kekurangan pasokan gas yang dialami oleh beberapa sektor industri, salah satunya pupuk dan petrokimia.

Kementerian ESDM menyebutkan dari seluruh produksi gas nasional serapan domestik sebenarnya sudah mencapai 65%. Sisanya 35% di ekspor ke luar negeri.

Eddy Suparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengungkapkan bahwa beberapa waktu lalu setidaknya ada lebih dari 30 perusahaan merelokasi bisnisnya dari China, tapi tidak satupun yang memilih Indonesia. Salah satu pemicu tentu saja masalah ketersediaan bahan baku, salah satunya adalah gas.

Masalah suplai dan kepastian terus menjadi isu yang belum juga diatasi pemerintah sampai sekarang. Karena itu usulan DMO gas sangat wajar untuk bisa ditindaklanjuti. “Presiden mengeluh akibat perang dagang China dan Amerika Serikat banyak relokasi dari China ke negara ASEAN. Sebanyak 33 pabrik, tidak ada satupun ke Indonesia. Masalah ketersedian (gas) untuk produksi juga masalah besar,” ungkap Eddy.

Contoh kekurangan pasokan gas yang terus terjadi dialami oleh PT Pupuk Indonesia dan para anak usahanya. Gas sendiri untuk Pupuk Indonesia jadi bahan utama, terutama untuk pembuatan urea. Untuk membuat urea, gas mengambil porsi bahan baku terbesar yakni sekitar 75%.

Aas Asikin Idat, Direktur Utama Pupuk Indonesia, mengatakan anak-anak usaha Pupuk Indonesia selama ini masih kesulitan untuk mendapatkan pasokan gas secara optimal. “Kebutuhan untuk Pupuk Iskandar Muda, dua pabrik 110 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), alokasinya hanya sekitar 30 MMSCFD. Gasnya masih ambil spot, pabrik cuma jalan setengah,” kata Aas.

Pupuk Kujang juga mengalami kekurangan pasokan untuk dua pabrik sebesar 101 MMSCFD. Pada tahun ini dan 2020 kekurangan pasokan 10 MMSCFD. Kemudian kekurangan pasokan diprediksi meningkat menjadi 25 MMSCFD pada 2021.

PT Petrokimia Gresik kekurangan pasokan gas dengan volume 12 MMSCFD pada tahun ini. Pada 2020, kekurangan pasokan gas bisa mencapai 8 MMSCFD. Meskipun pada 2021 diprediksi pasokan gas bisa terpenuhi, tapi setahun kemudian justru kekurangan pasokan makin menjadi hingga 34 MMSCFD dan menjadi 44 MMSCFD pada 2023.(RI)