JAKARTA – Pemerintah memiliki target ambisius agar produksi minyak siap jual (lifting) Indonesia bisa mencapai satu juta barel per hari (bph) pada 2030. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), lifting minyak selama 10 tahun terakhir cenderung menurun dari 927 ribu bph pada 2009 turun menjadi 743 bph pada 2019.

Bahkan selama kurun waktu 10 tahun, realisasi lifting minyak hampir tidak bisa mencapai target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2009, target lifting minyak pada APBN ditetapkan 1,24 juta bph, namun realisasinya sebesar 927 ribu bph. Demikian juga pada 2019 target lifting APBN ditetapkan sebesar 775 ribu bph, tetapi realisasinya hanya mencapai 743 ribu bph.

Fahmy Radhi, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada, mengatakan ada lima upaya yang bisa dilakukan oleh SKK Migas untuk bisa mendongkrak lifting.

Pertama, memperbaiki proses perizinan yang masih panjang dan berjenjang menjadi perizinan satu atap. Kedua, memaksimalkan potensi reservoir dan produksi yang ada (maximizing existing), Ketiga, melakukan transformasi resources menjadi reserves. Keempat, menerapkan teknologi enhance oil recovery (EOR) agar kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dapat dilakukan secara full-field.

Kelima, meningkatkan kegiatan eksplorasi secara massif untuk mendapatkan penemuan besar (giant discovery). Berdasarkan jumlah cadangan minyak bumi dan iklim investasi yang semakin kondusif. “Serta penerapan kelima upaya tersebut, target lifting satu juta barel per hari akan dapat dicapai (achievable) pada 2030,” kata Fahmy kepada Dunia Energi, Senin (2/3).

Menurut Fahmy, target lifting sangat mungkin bisa dicapai. Ini bisa dilihat berdasarkan pada total cadangan potential dan proven minyak bumi diperkirakan sekitar 7.732,27 juta stock tank barrel, target lifting satu juta barel per hari pada 2030 tidak mustahil untuk dicapai.

“Pencapaian target itu sebenarnya telah didukung oleh iklim investasi di hulu yang semakin kondusif dan mampu bersaing dengan negara lain penghasil minyak bumi,” ujar Fahmy.

Index kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business) di Indonesia semakin membaik dari level 91 pada 2017 menjadi 72 pada 2019, lebih baik ketimbang China 78, India 101, dan Brazil 125. Cost index hulu migas Indonesia sedikit lebih tinggi dibanding cost index global, tetapi masih lebih rendah dibanding cost index hulu negara-negara Asia Pasific.

Selain itu, profit margin (earning after tax to net sales) investasi di hulu Indonesia mencapai 72% dari net sales, sedangkan biaya operasional (operational expenditure) mencapai hanya sebesar 29% dari net sales.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, telah memberikan keleluasaan bagi investor untuk menetapkan sendiri kontrak, antara gross split atau cost recovery. Dengan demikian, investor mempunyai flexibilitas dalam menentukan rezim kontrak sesuai dengan perhitungan tingkat keekonomian di WK hulu.

Rezim kontrak, yang menjadi salah pertimbangan penting bagi investor untuk berinvestasi di hulu, telah diperbaiki. “Sebelumnya, sejak 2017 rezim kontrak ditetapkan harus menggunakan gross split untuk investasi wilayah kerja (WK) baru, sedangkan WK pengembangan masih menggunakan cost recovery,” kata Fahmy.(RI)