JAKARTA – PT Pertamina (Persero) makin santer terdengar akan masuk ke dalam konsorsium pengelola blok Masela bersama Inpex Corporation. Banyak pihak memang merasa ini jadi kesempatan bagus bagi Pertamina yang bakal ikut mengelola blok migas berskala besar.

Hadi Ismoyo, praktisi migas yang juga mantan Sekretaris Jendral Ikatan Alumni Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengungkapkan ada beberapa risiko dalam mengelola blok Masela. Salah satunya adalah belum adanya kepastian siapa yang akan menyerap gas Masela nanti.

“Alasan Pertama, Resources Masela adalah gas yg dalam pengembangannya perlu GSA (Gas Sales Agreement). Sampai saat ini belum ada satupun GSA dengan buyer. Paling banter hanya MoU dengan calon buyer,” ungkap Hadi kepada Dunia Energi, Senin (8/5).

Selain itu, menurut Hadi status blok Masela yang sudah tangan kedua dari Inpex-Shell-Pertamina juga harus diwaspadai. Tentu sudah ada hitung hitungan margin, plus premium yang di actual cost-nya barangkali tidak semahal itu.

“Rawan sekali dikriminalkan, karena BUMN membeli portofolio yang blok tersebut menjadi bernilai karena fasilitatas pemerintah, misalnya dikasih perpanjangan 20 tahun ekplorasi tambahan, beberapa kemudahan lainnya agar segera di develop. Khwatir suatu saat rezime berubah dimasalahlan oleh rezim baru dengan berbagai celah,” jelas Hadi.

Hingga kini memang belum ada kesepakatan antara Shell dengan calon kuat pembeli Particitaping Interest (PI)-nya di Masela yakni Pertamina. Namun sumber Dunia Energi didalam lingkaran pemerintahan menegaskan bahwa harga pengalihan yang dipatok Shell masih terlampau tinggi.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), pernah membeberkan Pertamina harus menemukan kesepakatan dengan Shell untuk bisa masuk ke proyek Masela. Menurut dia, Shell sudah memiliki basis nilai yang minimal yang wajid disiapkan oleh Pertamina. Nilai tersebut merupakan total dana yang telah digelontorkan perusahaan selama menjadi mitra Inpex di Masela. “Sekitar US$1,4 miliar sudah dikeluarkan Shell,” kata Dwi.

Investasi di Blok Masela butuh dana besar. Pada POD awal, nilai investasinya diestimasikan mencapai US$19,8 miliar dengan kapasitas fasilitas LNG mencapai 9,5 Metrik Ton Per Annum (MTPA) atau setara 1.600 juta kaki kubik per hari (MMscfd) serta gas pipa mencapai 150 MMscfd. Selain itu, Blok Masela diproyeksi menghasilkan kondensat 35 ribu barel per hari. Terbaru, investasinya diperkirakan bakal membengkak antara US$1,3-US$1,4 miliar untuk membiayai penerapan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Sebelumnya, pemerintah mengaku sempat sangat kecewa dengan keputusan Shell hengkang dari proyek Masela, pasalnya berbagai kemudahan sudah diberikan demi keberlangsungngan proyek.

“Shell sudah dikasih berbagai insentif, split bagus dinaikkan dan lainnya. Sesudah dikasih semuanya baru “kabur” (lepas PI),” kata Arifin saat berbincang dengan Dunia Energi pekan lalu di Gresik.

Menurut Arifin tidak mudah untuk bisa menyediakan insentif dalam sebuah proyek besar. Perlu pembahasan tidak sederhana dengan Kementerian/Lembaga lainnya. Dia pun menilai keekonomian Masela sudah jauh lebih baik dengan berbagai insentif yang diberikan pemerintah sehingga sebenarnya proyek Masela memiliki banyak peminat. Itu juga yang membuat Shell memiliki posisi tawar yang baik saat memutuskan untuk melepas PI-nya di Masela. “Ya kecewa dengan keputusan Shell,” ujar Arifin. (RI)