Perkembangan yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sering luput dari perhatian masyarakat manakala muncul gagasan tentang pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Padahal, wilayah kepulauan ini menyimpan potensi ekonomi yang beragam dari mulai ekowisata, pertanian, perikanan, peternakan, tambang, maupun aneka industri. Persoalannya mungkin investor belum tertarik menanamkan investasi di NTT karena berbagai sebab, salah satu yang paling utama adalah infrastruktur dan pasokan listrik.

Kondisi ini sedikitnya tergambar dalam Forum Investasi Tiga Wilayah Konjen RRC yang meliputi NTT, NTB dan Bali, di Kupang, akhir November 2019. Dalam pertemuan tersebut terungkap investasi perusahaan asal Tiongkok di Bali senilai US$11 juta untuk 10 proyek. Selain itu, sebanyak 11 perusahaan China telah berinvestasi di NTB dengan nilai investasi mencapai US$1 juta. Namun, untuk NTT, meskipun dikabarkan ada perusahaan yang berinvestasi di industri budidaya Mutiara nilainya tidak diketahui dengan pasti.

Meskipun demikian, menurut catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi NTT cenderung di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional, kecuali pada 2018 sedikit menurun. Kontribusi NTT terhadap ekonomi wilayah Nusa Tenggara sebesar 43,21 persen, sedangkan kontribusi terhadap ekonomi nasional sebesar 0,66 persen. Pada 2020, pertumbuhan ekonomi di NTT minimal harus 5,16 persen.

Target tersebut  bukan angka yang mustahil untuk diraih. Berkaca pada data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan III 2019 hanya mencapai 3,87 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018. Secara kumulatif, ekonomi NTT triwulan I hingga III 2019 tumbuh sebesar 5,23 persen.

Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh lapangan usaha Industri Pengolahan sebesar 9,77 persen meskipun struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan dengan kontribusi sebesar 27,84 persen.  Sedangkan dari sisi pengeluaran masih didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 69,86 persen.

Pertumbuhan ekonomi NTT ditopang oleh realisasi investasi yang setiap tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), rata-rata peningkatan realisasi investasi periode 2014-2017 adalah 23,06 persen. Pada 2018, target investasi dari target investasi sebesar Rp6,3 triliun terealisasi sebesar Rp6,236 triliun. Untuk tahun, investasi yang masuk NTT ditargetkan mencapai Rp7 triliun.

PT PLN (Persero) menangkap geliat pembangunan di NTT.  Plt Dirut PLN Sripeni Inten menyampaikan PLN akan terus berupaya untuk meningkatkan rasio elektrifikasi  terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau, salah satunya NTT, guna mendorong perekonomian dan kehidupan sosial diwilayah tersebut.  “PLN akan terus membangun dan menghadirkan infrastruktur kelistrikan di pelosok-pelosok Negeri, untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan adanya listrik kami yakin ekonomi akan menggeliat, waktu belajar anak-anak semakin bertambah sekaligus menarik investor,” ungkap Inten, saat peresmian PLTS di Pulau Messa, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Oktober lalu.

Saat ini, PLN sangat agresif membangun infrastruktur kelistrikan di provinsi tersebut mulai membangun jaringan infrastruktur listrik mulai dari pembangkit, gardu, dan transmisinya, Daya mampu (MW) PLN Wilayah NTT saat ini mencapai 335,9 MW dengan beban puncak sebesar 214,3 MW. Panjang transmisi untuk mendistribusikan listrik mencapai 387,4 kilometer dengan gardu induk 235 MVA.

“Bagi investor yang mau masuk ke NTT jangan lagi khawatir mengenai ketersediaan listrik. PLN siap mendukung pertumbuhan investasi di NTT,” tegas Manager Unit Pelaksana Pembangkitan (UPT) Flores PLN, Lambok R Siregar, di Labuan Bajo, Kamis malam.

PLN menargetkan seluruh masyarakat di wilayah NTT menikmati listrik pada 2020. Saat ini, rasio elektrifikasi di NTT baru mencapai 84,68 persen. Dari 22 kabupaten/kota di NTT, ada tiga kabupaten yang memiliki rasio elektrifikasi 60-70 persen dan empat kabupaten berasio 70-80 persen. Daerah yang memiliki rasio 80-100 persen mencapai 14 kabupaten, sedangkan yang sudah 100 persen hanya satu daerah.

PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTT mengelola 17 sistem kelistrikan. Sistem kelistrikan tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yaitu sistem kecil (isolated) dengan delapan sistem, sistem sedang dengan enam sistem, dan sistem besar sebanyak empat sistem. “Tidak ada defisit daya dari seluruh sistem tersebut,” tegas Lambok.

Menurut Lambok, Unit Pelaksana Pembangkitan Flores termasuk penyangga sistem kelistrikan NTT. Hingga November 2019 kapasitas terpasang di Flores mencapai 190 Megawatt (MW). Kapasitas ini berasal dari PLTU 7,36 persen, PLTD 45,01 persen, PLTMG 37,09 persen, PLTS 2,36 persen, PLTMH 1,52 persen, dan PLTP 6,63 persen. “Kapasitas pembangkit EBT saat ini sudah mencapai 20 MW atau setara dengan 10,5 persen dalam kelistrikan Pulau Flores,” ungkap Lambok.

PLN terus mengembangkan kelistrikan di NTT dengan lebih banyak membangun pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan). “Arah pengembangan pembangkit PLN NTT memang ke pembangkit yang ramah lingkungan. NTT daerah kepulauan. Dari hasil studi, sumber energi lokal harus dimanfaatkan. Lama matahari menyinari bumi lebih lama. Daerah-daerah pulau terpencil diupayakan dibangun PLTS. Meskipun belum maksimal yang penting ada dulu. Kami masih mendapatkan kendala ketersediaan lahan yang luas. Lahan yang dipilih adalah yang nonproduktif,” kata Lambok.

Rencananya, akan dibangun 11 lokasi pembangkit tenaga surya (PLTS) off grid dengan total kapasitas 2.920 KWP yang diharapkan mampu melayani 3.446 pelanggan. Pembangunan pembangkit mikrohidro (PLTMH) dari eksisting 6 MW menjadi 45,1 MW; pembangkit panas bumi (PLTP) dari eksisting 13 MW menjadi 115 MW; pembangkit tenaga bayu sebesar 20 MW yang berasal dari PLTB Timor 2×10 MW pada 2022-2023); serta pembangkit biomassa (PLTBm) sebesar 24 MW yang dihasilkan PLTBm Sumba 16 MW (2020-2027), PLTBm Kalabahi 2 MW (2021-2022), dan PLTBm Rote Ndao 6 MW (2-21-2022).

 Pembangunan Transmisi

Ratusan pembangkit yang akan dibangun rasanya akan tidak banyak manfaatnya apabila listrik yang dihasilkan tidak bisa disalurkan kepada pengguna, baik rumah tangga maupun industri. Rencananya, untuk Kelistrikan Sistem Timor akan dibangun sekitar 600 kilometer (km) jaringan transmisi, Sistem Flores sekitar 600 km, dan Sistem Sumba 270 km. “Kalau transmisi sudah terhubung, kepercayaan masyarakat maupun investor untuk menjadi pelanggan PLN akan muncul,” kata VP Corporate Communication and CSR PLN Dwi Suryo Abdullah, di Labuan Bajo, pekan lalu.

Lambok lebih suka menyebut jaringan transmisi itu sebagai “tol listrik”. Di Flores, pembangunan transmisi ini sangat penting untuk mendukung kebijakan pemerintah yang menjadikan Kawasan Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi wisata. “Tol listriknya ini akan menyambung Labuan Bajo sampai Larantuka sampai 600 km,” ujarnya.

Jalur tol listrik ini akan melewati Labuan Bajo – Ruteng- Bajawa- Ropa- Maumere- Larantuka dengan tegangan 70 KV. Targetnya selesai 2021 dengan progressnya sudah 60 persen.

April lalu, beberapa proyek kelistrikan juga diresmikan oleh PLN bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kiloVolt Labuan Bajo-Ruteng, Gardu Induk (GI) Labuan Bajo, Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kiloVolt Ruteng – Ulumbu, Gardu Induk Ruteng, dan Gardu Induk Ulumbu.

Meskipun sudah direncanakan dengan baik, pembangunan tol listrik masih menemui berbagai kendala seperti perizinan tanah dan kondisi medan yang sulit. Bahkan, kendala yang berdampak serius pada keberhasilan pembangunan transmisi muncul dari hal-hal yang tampaknya sepele. “Ada di satu wilayah, PLN tinggal menarik kabel di antara dua tiang agar transmisi tersambung justru terkendala karena di bawah tiang pancang tersebut tiba-tiba dibangun Puskesmas,” tutur Lambok.

Perkembangan pariwisata di derah Labuan Bajo menyebabkan konsumsi listrik melonjak. (L Hermawan/DE)

Apakah listrik yang dihasilkan dari pembangkit dan disalurkan lewat transmisi yang terkoneksi di seluruh NTT akan terserap?  “Listrik dari pembangkit EBT jangan khawatir tidak terserap karena akan menggantikan konsumsi minyak dan menjamin keandalan pasokan.  Dengan demikian, PLN siap menunjang hadirnya investasi di sini,” kata Lambok.

Kunci utama penyerapan konsumsi listrik adalah pertumbuhan ekonomi NTT. Menurut Kementerian ESDM, saat ini pengembangan ekonomi terbesar NTT berasal dari industri pariwisata, pertambangan, kelautan, serta panas bumi. Terdapat 11 perusahaan tambang mineral di Kabupaten Manggarai dan membutuhkan tambahan daya listrik cukup besar. Salah satunya industri smelter mangan yang membutuhkan energi listrik sekitar 10 MW.

Kenaikan konsumsi listrik di Flores sangat tinggi terutama di Labuan Bajo. Menurut Lambok, pada 2018 beban puncak di daerah itu hanya 8 MW. Saat ini, beban puncak di Labuan Bajo sudah mencapai 13 MW. “Semua kebutuhan listrik itu sudah di-supply oleh PLN,” tegasnya.

Konsumsi listrik di Labuan Bajo diprediksi bakal melonjak seiring dengan tuntasnya pengembangan Kawasan Terpadu Labuan Bajo. Salah satu proyek di Kawasan itu, Hotel Inaya Bay Komodo, akan rampung pada akhir Desember 2019 dan saat ini sudah soft launching.  Inaya Bay Komodo dibangun untuk memenuhi kebutuhan Meeting, Incentives, Conferencing, and Exhibitions (MICE) di sana.

Pembangunan fasilitas MICE tersebut sangat beralasan karena tingkat kunjungan ke NTT terus naik. Data BPS menunjukkan, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Bintang di Provinsi NTT pada Oktober 2019 tercatat sebesar 55,59 persen, naik 3,33 poin dibanding TPK September 2019 yang sebesar 52,26 persen. Jumlah tamu menginap pada hotel bintang bulan ini sejumlah 40.668 orang dengan rincian 35.938 orang tamu Nusantara dan 4.730 orang tamu mancanegara.

Sementara jumlah penumpang angkutan udara yang tiba di NTT pada Oktober 2019 berjumlah 174.018 orang sedangkan penumpang yang berangkat berjumlah 164.336 orang.

Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang (q- to-q) triwulan III tahun 2019 di NTT naik sebesar 1,42 persen. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang (q-to-q) triwulan III 2019 di NTT tumbuh sebesar 1,42 persen dibanding triwulan II 2019, dan pertumbuhan(y-on-y) triwulan III 2019 terhadap triwulan III 2018 naik sebesar 13,90 persen.

Adapun pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Mikro dan Kecil (q-to- q) triwulan III tahun 2019 naik sebesar 5,31 persen di banding triwulan II 2019, dan pertumbuhan (y-on-y) triwulan III 2019 terhadap triwulan yang sama 2018 naik sebesar 30,32 persen.

Pemerintah juga sedang mendorong NTT untuk menjadi daerah industri garam. Presiden Joko Widodo menyebut NTT berpotensi menjadi daerah penghasil garam nasional karena memiliki lahan tambak garam mencapai 21 ribu hektare (ha). Saat ini, baru ada empat investor garam di provinsi ini yakni PT Garam yang menggarap 385 ha lahan tambak, PT Garam Indonesia Nasional menggarap 500 ha, PT Timor Lestari Livestock menggarap 600 ha, dan PT Inti Daya Kencana Malaka menggarap 3 ribu ha.

Melihat berbagai perkembangan itu, sudah tepat langkah PLN untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik di NTT. (LH)