JAKARTA – Pemerintah telah mencanangkan target prestisius untuk tidak lagi mengimpor BBM pada 2030. Sebagai gantinya nanti BBM akan dipasok dari produksi kilang-kilang milik PT Pertamina (Persero) setelah selesai dibangun maupun dikembangkan melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP).

Ari Soemarno, Praktisi Migas yang juga mantan Direktur Utama Pertamina, pesimistis dengan target yang dipatok pemerintah. Menurut dia, ada berbagai indikator yang menunujukkan target tersebut sulit terelisasi.

Pertama, Ari menyoroti terus meningkatnya konsumsi BBM pasca mulai pulihnya lagi ekonomi setelah dihantam badai pandemi COVID-19. Bahkan BBM yang dibutuhkan mencapai ke level seperti pada 2019 sebesar 1,7 juta barel per hari.

“Jadi untuk menciptakan itu dari segi demand-nya akan sangat sulit untuk di rem. Karena upayanya kembali pertumbuhan ekonomi terus yang disubtitusi apa?,” kata Ari dalam diskusi virtual, Kamis (29/4).

Dorongan agar masyarakat beralih ke kendaraan listrik sehingga konsumsi BBM juga bisa dikurangi juga tidak akan signifikan hasilnya. Pasalnya tidak semua moda transportasi juga akan secara masif beralih ke menggunakan listrik.

“Kemudian program mobil listrik apakah siginifikan dalam mengurangi BBM sampai 2030? apakah masyarakat siap menerima itu? Karena mobil listrik banyak kendala. Selain itu, ini hanya untuk kendaraan darat. Kalau kendaraan laut, udara, tambang itu masih akan mengandalkan BBM,” ungkap Ari.

Indikator berikutnya adalah kesiapan suplai BBM Pertamina. Hingga 2030 nanti Pertamina belum akan siap menanggung kewajiban menyuplai seluruh kebutuhan BBM dengan mengandalkan produksi dari kilang milik mereka karena kapasitasnya belum mumpuni.

Saat ini Pertamina tengah menjalankan empat proyek RDMP serta membangun satu kilang baru. Namun jika dilihat dari realisasi pengerjaan hingga sekarang, Ari pesimistis seluruh proyek akan rampung sesuai target. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek ditengan gejolak ekonomi serta pandemi  membuat Pertamina makin kesulitan mengejar target penyelesaian proyek kilang seperti yang diamanatkan pemerintah.

“Pertamina terkendala dari sisi pendanaan. Itu sudah dari 2015, tapi yang baru mulai Balikpapan. Dan itu menghadapi kendala. Kilang ini menghadapi keekonomian yang parah sehingga investor sangat hati-hati, apalagi di tengah pandemi. Investor mulai transisi,” kata Ari.

Pemerintah  memiliki Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) yang diusung untuk memetakan proyeksi serta pemenuhan kebutuhan energi nasional dalam beberapa tahun ke depan. Dalam GSEN yang baru saja disusun itu pemerintah memasang target tidak lagi mengimpor BBM seluruhnya pada 2030.

Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan dalam GSEN kebutuhan BBM untuk dalam negeri diproyeksikan akan terus naik dari 1,13 juta barel per hari (bph) pada 2020 menjadi 1,36 juta bph pada 2025 dan menjadi 1,55 juta bph pada 2030. Setelah itu, akan mencapai 1,98 juta bph di 2040. Dari seluruh kebutuhan itu, impor masih dibutuhkan untuk bensin yakni sebesar 194 ribu bph pada 2025.

Menurut Djoko,. pada 2030 beberapa alternatif bahan bakar sudah diaplikasikan di tanah air, seperti Bahan Bakar Gas (BBG), Bahan Bakar Nabati (BBN) dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterei (KLBB).

“Kita harus merencanakan dengan baik untuk capai target 2030. Perencanaan yang baik sendiri baru berhasilnya 50%. Apa yang disampaikan Pak Ari itu tantangan?. Kalau kita tidak punya perencaaan maka akan semakin besar (impor). Pemerintah akan tetap optimistis strategi untuk mengurangi impor BBM,” kata Djoko.(RI)