JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang melarang kegiatan ekspor nikel berkadar rendah sejak awal tahun 2020 lalu telah memberikan berkah tersendiri kepada PT PLN (Persero), khususnya di wilayah Sulawesi.

Syamsul Huda Direktur Bisnis PLN Regional Sulawesi, Maluku, Papua & Nusa Tenggara, mengungkapkan kebijakan tersebut membuat pabrik-pabrik smelter bekerja optimal dalam mengolah nikel. Ini tentu membuat kebutuhan pasokan listrik tinggi.

“Sulawesi ini barangkali yang dapat berkah kebijakan soal nggak boleh ekspor nikel. Artinya pengolahan disini butuh smelter dan ini potensi pasar yang luar baisa,” kata Syamsul dalam konferensi pers virtual, Selasa (11/5).

Dia menjelaskan normalnya beban listrik di Sulawesi rata-rata hanya 2.000 Megawatt (MW) tapi semenjak ada larangan ekspor nikel maka beban puncaknya bisa tiga kali lipat dari sebelum ada kebijakan larangan ekspor nikel.

“Beban puncak se sulawesi itu hanya 2.000 MW. karena ada smelter 6.100 MW. Jadi ini bisa tiga kali lipat ya dari beban puncak eksisting,” ungkap Syamsul.

Namun demikian potensi pasar besar ini tidak serta merta bisa langsung dimonetisasi oleh PLN. Syamsul mengakui PLN masih menemui beberapa tantangan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik-pabrik smelter. Utamanya adalah ketersediaan infrastruktur.

Ini bisa dilihat dari banyaknya pabrik smelter masih memiliki pembangkit listrik sendiri dan tidak mendapatkan pasokan listrik dari PLN.

“PLN berupaya menyiapkan infrastruktur yang ada sehingga bisa menangkap pasar. Kalau enggak mereka nanti bikin pembangkit sendiri. Kami melakukan pendekatan supaya pasar itu bisa pakai listrik PLN aja,” jelas Syamsul.