JAKARTA– Konsorsium Energi Panas Bumi yang dibentuk Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyiapkan pengembangan peta jalan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dari hulu hingga hilir. Muhammad Dimyati, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi Pendidikan Tinggi, mengatakan penelitian awal pengembangan peta jalan panas bumi sudah disepakati untuk dimulai tahun ini oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Indonesia.

“Hasil penelitian awal akan menjadi rekomendasi untuk memperkuat kinerja PLTP 3 Megawatt (MW) yang sudah dikembangkan BPPT di Kamojang, Jawa Barat dan PLTP-PLTP lain yang selanjutnya akan dikembangkan di Indonesia,” ujar Dimyati.

Penelitian hulu dan hilir dilakukan sesuai dengan keahlian masing-masing. Misalnya, perguruan tinggi, nanti melakukan penelitian di hulu untuk mengetahui kondisi geologi hingga kekuatan dari uap yang dihasilkan dari masing-masing lokasi panas bumi.
“Setiap sumur uap, karakternya berbeda-beda. Maka turbin yang dikembangkan harus didesain sesuai dengan kekuatan gas, kandungan dan aktivitas uap airnya sehingga perlu kajian awal,” katanya.

Berdasarkan informasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ada sekitar 300 titik panas bumi yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi PLTP. Meski demikian, menurut Dimyati, penelitian tidak perlu dilakukan di semua titik karena akan dibuat kajian makro sebagai rekomendasi mana yang akan diteliti.

Kajian-kajian tersebut, dia mengatakan tentu juga akan memperhitungkan kebijakan-kebijakan dari sejumlah kementerian terkait seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Misalnya ada satu sumur yang berdasarkan kebijakan Kementerian ESDM boleh dikembangkan tapi karena memperhatikan aspek keseimbanhan lingkungan maka harus juga memperhitungkan kebijakan KLHK. Dari sana akan dikaji, 300 MW itu misalnya hanya bisa dikembangkan 100, dan itu akan dikoordinasikan lagi mana yang akan diteliti dicari yang potensinya paling tinggi,” ujar Dimyati.

Pertimbangan lain yang dilakukan, menurut dia, tentu terkait dengan kebutuhan mendesak elektifikasi di satu daerah. Contohnya saja di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini masih menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

“Konsorsium akan melengkapi apa yang selama ini sudah dikembangkan, seperti di Kamojang dibuat dengan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri-red) tinggi, tapi di lokasi lain apakah perlu semuanya seperti itu, nanti akan ikut dikaji,” kata Dimyati.

Dia mengatakan survei sekitar 300 lokasi tentu juga membutuhkan waktu, nanti akan dilihat apakah satu sumur dibuat satu PLTP atau beberapa sumur bisa dibuat satu PLTP. Semua akan diperhitungkan oleh konsorsium. (DR)