JAKARTA – Rangkaian Pertemuan Konferensi Iklim COP26 UNFCCC telah usai. Sidang Pleno penutupan COP26/CMA.3/CMP.16 dilaksanakan pada 13 November 2021, satu hari lebih lambat dari yang direncanakan. Berbagai keputusan terkait dengan elemen-elemen Paris Agreement telah dihasilkan.

“Hasil COP 26 Glasgow telah meningkatkan kepercayaan dan modalitas untuk implementasi yang lebih nyata dari berbagai elemen Paris Agreement,” ungkap Laksmi Dhewanthi,
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sekaligus Ketua Delegasi Indonesia pada COP 26, Sabtu (13/11).

Laksmi menyayangkan terdapat beberapa hal yang tidak seharusnya terjadi dalam sebuah forum negosiasi antar negara, seperti halnya disampaikan oleh banyak delegasi bahwa tidak keseluruhan proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka dan inklusif, serta kondisi banyak pihak tidak bisa mendapatkan apa yang mereka seharusnya dapatkan dalam konteks negosiasi.

Catatan substansi yang cukup krusial dan menjadi diskusi cukup hangat adalah terkait penyelesaian pasal/artikel 6, agenda to keep 1.5 degree temperature alive, terutama penghapusan/pengurangan penggunaan batubara dan subsidi bahan bakar fosil, serta upaya untuk menghasilkan naskah keputusan yang berimbang (balanced text) antara kewajiban untuk meningkatkan ambisi dan target (mitigasi) oleh negara pihak dengan kewajiban untuk pemenuhan komitmen pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang.

“Artikel 6 Persetujuan Paris akhirnya telah diadopsi. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rules Book mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen Para Pihak di bawah Persetujuan Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif,” ujar Laksmi.

Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian upaya pemenuhan komitmen NDC-nya. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non pasar tanpa adanya transfer unit.

Selain itu setelah melalui negosiasi yang intens hingga menjelang akhir COP26, akhirnya Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact), yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara yang disebut sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca, tidak sepenuhnya dapat disepakati seluruh negara pihak.

Pada akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk menghentikan secara bertahap daripada menghapus batubara. Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda.

“Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim. Tapi banyak negara pihak yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius,” kata Laksmi.

Terkait dengan Enhance Transparency Framework (ETF) atau Transparansi yang ditingkatkan, isu metodologi terkait ETF untuk aksi dan support mengacu ke Pasal 13 Persetujuan Paris telah diadopsi. Untuk itu, Indonesia menekankan bahwa para pihak perlu didorong untuk segera membuat persiapan yang diperlukan untuk memastikan pelaporan Bienniun Tranparency (BTR) tepat waktu di bawah ETF sesuai dengan Pasal 13 Perjanjian Paris dan batas waktu yang ditetapkan dengan menggunakan outline yang telah disepakati.

“Selain itu dukungan bagi implementasi ETF berdasarkan Pasal 13 Persetujuan Paris perlu disediakan secara tepat waktu, memadai dan dapat diprediksi, mengingat ETF adalah untuk membangun kepercayaan (Building Trust),” ujar Laksmi.

Pada Pleno Penutupan COP26, Indonesia menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah dan rakyat UK, khususnya penerimaan dan keramahan penduduk Glasgow – Skotlandia. Indonesia juga mengapresiasi kerja luar biasa dari Sekretaris Eksekutif dan Sekretariat UNFCCC, semua Ketua dan Wakil Ketua, semua Co-Fasilitator, negara-negara pihak dan para pengamat.

Meskipun hasil keluaran COP26 Glasgow tidak sesempurna yang diharapkan, namun yang terpenting adalah semua negara pihak telah sepakat bahwa semua memiliki kewajiban mewujudkan hasil-hasil perundingan COP26 menjadi implementasi dan tindakan nyata dari Persetujuan Paris. Jika tidak, maka komitmen yang dibuat di Paris tidak akan mencapai target.

Indonesia mengajak semua pihak berjanji untuk bersama-sama melakukan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip konvensi, serta Perjanjian Paris.

“Indonesia siap untuk melangkah maju melalui proses selanjutnya di bawah UNFCCC. Seperti yang dinyatakan Presiden Republik Indonesia jika perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerjasama, kolaborasi global adalah kuncinya,” kata Laksmi.(RA)