JAKARTA – Ketahanan energi dari aspek ketersediaan (availability) di berbagai wilayah dengan biaya yang terjangkau (affordability), mudah diakses (accessibility)), dapat diserap oleh pasar/pengguna (acceptability), dan berkelanjutan (continuity) merupakan tantangan pembangunan energi nasional yang harus dapat dipenuhi.

Konsumsi energi tiap tahun terus meningkat (energi per kapita tumbuh 7% pertahun sepanjang 2012-2017) seiring pertambahan penduduk, kebutuhan industri dan kemajuan pembangunan nasional. Sementara, distribusi dan kontinuitas pemenuhan kebutuhan antara Jawa-Luar Jawa, dan antar kota-desa masih ada ketimpangan.

“Cadangan sumber daya energi semakin menipis di tengah menurunnya eksplorasi, pencadangan, dan investasi hulu,” kata Maryati Abdullah, Kordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (13/2).

Berbagai sumber data menyatakan  cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi diperkirakan akan habis kurang dari 10 tahun, batu bara hanya tersedia sampai kurang dari 28 tahun. Sementara cadangan gas bumi, meski masih dapat diproduksi hingga 43 tahun mendatang, dan potensi enengi terbarukan melimpah, namun pemanfaatannya secara nasional masih sangat mmim.

Maryati menjelaskan, dalam hal infrastruktur energi terdapat sejumlah persoalan, yakni minimnya keberadaan kilang pengolahan minyak (refinery) maupun penyimpangan stok (storage) membuat Indonesia menghadapi risiko krisis energi  yang rawan kekurangan pasokan dan ketergantungan pada impor (bahan baku dan bahan bakar).

Selain itu, masih kurangnya ketersediaan infrastuktur energi lain seperti LNG Plants, SPBG untuk transportasi, dan kebutuhan pengembangan pipa jaringan gas bumi untuk konsumsi rumah tangga dan industri, membuat pemanfaatan cadangan gas bumi belum maksimal.

“Kurang terintegrasi dan adanya kesenjangan infrstruktur antara letak cadangan, jalur transportasi, dan area pemanfaatan, merupakan tantangan dalam pembangunan infrastruktur energi, selain kepastian regulasi dan perbaikan iklim usaha,” ungkap Maryati.

Dia menambahkan, peningkatan konsumsi di tengah menurunnya pencadangan dan pengembangan infrastruktur, menempatkan Indonesia pada risiko ketergantungan impor energi, yang bahkan sejak 2011 telah membebani dan membuat defisit neraca perdagangan.

Di sisi lain, susbidi energi justru mendominasi alokasi subsidi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), paling tidak dalam lima tahun terakhir.

“APBN 2019 mengalokasikan subsidi energi kurang lebih sebesar Rp156,5 triliun,” kata Maryati.

Secara jangka panjang, alokasi subsidi sebagai pilihan populis di tengah ketergantungan impor dan defisit cadangan justru dapat menjadi veto accomply kebijakan yang menambah sensitifitas kerentanan daya beli. Apalagi jika pilihan subsidi jatuh pada subsidi harga yang rawan tidak tepat saran.

“Ketergantungan pada impor BBM dan bahan mentah energi secara makro juga menyumbang pelemahan rupiah, terlebih di tengah perang perdagangan global. Sehingga diperlukan strategi pengendalian impor yang masif,” tandas Maryati.(RA)