JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengungkapkan fakta terbaru bahwa pertumbuhan konsumsi gas domestik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ternyata tidak signifikan.

Taslim Z Yunus, Sekretaris SKK Migas, mengungkapkan bahwa ada gap cukup besar antara target dan kemampuan serapan gas domestik. Hal itu bisa langsung terlihat dari realisasi rata-rata pertumbuhan konsumsi gas yang hanya sekitar 1% dalam kurun waktu satu dekade terakhir.

“Kita lihat 2011 – 2020 pertumbuhannya relatif stagnan sejak 2012 itu pertumbuhan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri cuma 1% per tahun sementara pertubuhan eknomi 4-5% artinya pemanfaatan gas bumi itu relatif stagnan,” kata Taslim saat berbincang dengan Dunia Energi, belum lama ini.

Dia menuturkan kebutuhan gas selama ini terpusat atau terbesar ada di Pulau Jawa. Sementara sumber pasokan gas berada di luar pulau Jawa, seperti di timur Indonesia ataupun di ujung barat. “infrastruktur nggak mencukupi, kebutuhan gas terbesar di pulau Jawa sumber di luar pulau Jawa seperti Kalimantan, Papua. Dalam negeri infrastruktur belum berkembang bagus,” ungkap Taslim.

Menurut dia pertumbuhan konsumsi gas di tanah air yang jalan ditempat tidak lepas dari kondisi infrastruktur gas yang belum maksimal. Proyeksi SKK Migas dalam kurun waktu 7 tahun ke depan dengan kondisi infrastruktur eksisting, pertumbuhan konsumsi gas rata-rata per tahun maksimal sekitar 3%. Jumlah tersebut tidak cukup untuk bisa mengejar target produksi gas tahun 2030 sebesar 12 ribu MMscfd.

“Sekitar 2%-3% sampai 2030. Gas kita tidak bisa langsung dibuka langsung mengalir. Seperti Masela, ada di Natuna, ada nanti di Andaman itu sekarang gasnya belum ada alokasi kemana. Jadi dari situ kita lihat tidak bisa secepatnya alirkan gas nya perlu fasilitas,” ujar Taslim.

SKK Migas kata Taslim dalam kajiannya akan coba mengusulkan dibukanya keran ekspor gas, khususnya untuk blok-blok baru. Tapi dengan satu syarat, kebutuhan dalam negeri tetap harus dipenuhi terlebih dulu. Kontraktor tetap harus memenuhi kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri, setelahnya gas bagian kontraktor nasibnya diserahkan kepada kontraktor tersebut mau dijual atau dipasarkan kemanapun.

“Paling bagus menurut saya daya serap dalam negeri kurang sedapat mungkin gas bagian kontraktor dia jual (ekspor) seperti di minyak,” ungkap Taslim.

Taslim menjelaskan dengan adanya fleksibilitas seperti itu maka minimal kontraktor memiliki pilihan untuk memonetisasi cadangan gas yang ada. Karena jika kondisi seperti sekarang dengan pembeli gas yang terbatas kontraktor akan berpikir dua kali untuk gelontorkan investasi guna memproduksikan cadangan gas.

“Sehingga tidak stuck menunggu pengembangan gas untuk buyer dalam negeri. Kalau gas banyak dibeli otomatis minat investasi menggegliat lagi,” jelas Taslim.

Menurut dia, Indonesia bisa mengambil moementum tren penggunaan energi di dunia. Dimana gas kini menjadi alternatif utama selain batu bara. Apalagi dengan tren transisi energi yang banyak dikampanyekan, gas dianggap cocok dalam masa peralihan energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Kebutuhan gas terutama LNG meningkat di dunia kita juga bisa ambil sebagian market share itu terutama Jepang. kedepan orang akan lbeih banyak gunakan LNG dari pada fuel atau diesel. Komitmen dunia kurangi emisi,”ujar Taslim.

Menurutnya banyak sumber cadangan gas di tanah air hingga kini belum dikomersialisasikan lantaran masih belum adanya kepastian pembeli. Misalnya saja di Masela ataupun di blok Kasuri.

Taslim menilai kondisi yang ada saat ini memang harus dicarikan solusi karena cadangan yang ada tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tidak dikomersialkan. Contoh Masela discovery 2000 hingga kini belum berproduksi. Jika banyak seperti itu dia khawatir investor akan berpikir panjang untuk berinvestasi di Indonesia.

“Salah satu kendala komersialitas ini harga. alot sekali. tapi kalau tidak dicarikan solusinya kita kehilangan market juga,” ungkap Taslim. (RI)