JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengakui ketiadaan direktur utama definitif PT Pertamina (Persero) mempengaruhi aksi korporasi yang akan dilakukan perusahaan. Saat ini kandidat calon Dirut sudah ditangan Presiden Joko Widodo.

Fajar Harry Purnomo, Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN,  mengatakan posisi direktur utama berfungsi mengambil kebijakan strategis perusahaan. Salah satu aksi korporasi yang harus menunggu keberadaan direktur utama adalah aksi melepas sebagian penguasaan (share down) aset Pertamina.

“Kan untuk jangka panjang belum bisa diputuskan (menunggu Dirut),” kata Fajar saat ditemui di Kementerian BUMN Jakarta, Kamis (2/8).

Dia menambahkan sambil menunggu dirut definitif saat ini dilakukan kajian aset mana saja yang berpeluang akan dishare down. “Iya kalau itu kan masih harus kajian (share down),” tukas Fajar.

Fajar mengaku masih belum mengetahui siapa sosok direktur utama Pertamina. Penetapan posisi Dirut Pertamina menjadi hak prerogatif presiden untuk memutuskan. Namun dia menyebut ada  tiga nama yang sudah dikantongi dan siap untuk ditetapkan.

Setelah Menteri BUMN Rini Soemarno menerima nama dari presiden, baru langsung dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengangkat dirut baru.

“Minimal tiga nama selalu yang diajukan ke presiden. Sekarang masih di presiden, kalau presiden sudah (putuskan) nanti kami buat RUPS-nya,” ungkap Fajar.

Pengakuan pemerintah ini sebenarnya sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) bahwa kondisi manajemen Pertamina sekarang turut mempengaruhi kinerja produksi Pertamina.

Dalam data realisasi lifting migas hingga semester I tahun ini kinerja anak perusahaan Pertamina yang masuk dalam jajaran kontributor migas terbesar di tanah air  meleset dari target. Untuk minyak ada Pertamina EP yang realisasi lifting hanya 70,031 atau 81,6% dari target 85.869 barrel oil per  day (BOPD).

Pertamina Hulu Mahakam (PHM) dalam target seharusnya mencapai 48.271 BOPD tapi realisasinya 96,1% atau  46.376 BOPD. Lalu ada PHE Offshore North West Java (ONWJ) dengan realisasi sebesar 30.489 BOPD atau 92,4% dari target sebesar 33.000 BOPD.

Untuk lifting gas juga ada beberapa anak usaha yang tidak mencapai target.  Misalnya untuk PHM hanya 916 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 83,3% dari target sebesar 1.100 MMSCFD. Lalu Pertamima EP sebesar 816 MMSCFD meleset tipis dari target 832 MMSCFD. Serta PHE WMO sebesar 125 MMSCFD atau  92,9% dari target 135 MMSCFD.

Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, mengungkapkan ketiadaan dirut definitif  di Pertamina membuat beberapa kebijakan strategis tidak dapat dilakukan.

“Kontrol direksi Pertamina tidak mudah untuk dilakukan selama masih Plt. Data sumur tidak lengkap. Semoga bisa ambil keputusan yang strategis dan cepat. Keputusan eksisting partner, farm out itu tidak bisa dengan cepat karena configurasi Pertamina masih belum final,” tandas Amien.(RI)