Maqdir Ismail, penasehat hukum karyawan Chevron dalam kasus bioremediasi.

JAKARTA – Empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang dijadikan tersangka dalam kasus bioremediasi dan sempat ditahan, pada Rabu, 5 Desember 2012 mengadu ke Komisi Kejaksaan terkait berbagai kejanggalan dan perilaku tidak profesional, dalam penanganan kasus mereka oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung).

Diwakili salah seorang penasehat hukumnya, Maqdir Ismail, empat karyawan tersebut mengaku melapor guna meminta perhatian Komisi Kejaksaan, sehubungan penyidikan Kejakgung terkait dugaan perkara korupsi dalam melakukan pemulihan tanah tercemar (bioremediasi) di Riau .

Maqdir menjelaskan, laporan tersebut disampaikan sesuai tugas dan fungsi Komisi Kejaksaan, yakni melakukan pengawasan  terhadap kinerja dan perilaku jaksa seperti diatur dalam Undang-undang (UU).

“Perilaku  dan kinerja jaksa yang diminta untuk diawasi, terutama yang berhubungan dengan proses pelaksanaan penyidikan yang mengandung banyak kejanggalan,” kata Maqdir.

Kejanggalan pertama, penetapan para tersangka oleh Kejakgung tidak dilakukan dengan bukti yang cukup. Penetapan tersangka juga tidak dilakukan melalui hasil penyelidikan yang akurat, sesuai dengan tugas pokok dan keseharian dari masing-masing tersangka sebagai karyawan Chevron.

Sebagai contoh, dalam penetapan Endah Rumbiyanti sebagai tersangka. Sebagai karyawan, Endah Rumbiyanti diminta oleh Chevron untuk memberikan penjelasan mengenai apa itu bioremediasi, kepada penyelidik Kejakgung.

Sebagai orang yang pernah belajar teori-teori bioremediasi, Endah Rumbiyanti bersedia memberikan penjelasan. Namun saat itu, Endah tidak memahami dan tidak menyangka sama sekali, kalau berita acara wawancara yang ditandatanganinya setelah memberikan penjelasan, dibuat untuk keterangan sebagai saksi.

Kemudian tidak lama setelah memberikan penjelasan tersebut, Endah Rumbiyanti  ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 63 hari oleh Kajakgung, karena diduga terlibat Proyek Bioremediasi fiktif.  “Padahal Endah Rumbiyanti sama sekali tidak ada kaitannya dengan Proyek Bioremediasi yang diduga fiktif ini,” terang Maqdir.

Cerita yang sama, juga dialami Kukuh Kertasafari. Ruang lingkup pekerjaan dan tanggung jawab Kukuh sehari-hari di Chevron, tidak ada kaitannya dengan pelelangan dan pelaksanaan Bioremediasi di SLS.

Faktanya, Kukuh Kertasafari adalah Team Leader Produksi yang mengurusi minyak, tidak mengurusi Bioremediasi di SLS Minas. “Hal itu pun sudah disampaikan Kukuh kepada Koordinator Penyidik, Amirullah, di hadapan penyidik,” ungkap Maqdir.

Ketika penyidik dimintai tanggapan oleh Koordinator Penyidik, Amirullah terkait keterangan  tersebut, penyidik juga tidak dapat menjelaskan posisi dan hubungan Kukuh Kertasafari dengan pekerjaan bioremediasi. Karena faktanya dia bukan sebagai team leader Bioremediasi di SLS seperti yang diduga oleh penyidik.

“Sedangkan Bachtiar Abdul Fatah, menandatangani bridging kontrak pada akhir Agustus 2011 karena secara struktural dalam organisasi Chevron Pacific Indonesia, kontrak tersebut harus ditandatangani sampai di levelnya dia,” terang Maqdir lagi.

Bridging kontrak inipun, lanjut Maqdir, dilakukan karena ada pekerjaan mendesak yang harus segera diselesaikan, sesuai komitmen kepada Kementerian Lingkungan Hidup sesudah mendapat PROPER Biru. Pembahasan kontrak baru belum selesai dilakukan, sampai Bachtiar mendapatkan penugasan baru ke Jakarta pada 1 September 2011, untuk fungsi yang berbeda.

Kejanggalan kedua, kata Maqdir, Kejakgung menggunakan keterangan ahli bernama Edison Efendi dalam menangani kasus bioremediasi ini. Padahal Edison Efendi adalah wakil dari sebuah perusahaan, yang berkali-kali kalah dalam tender bioremediasi yang digelar Chevron. Sehinggi sulit ditepis dugaan adanya konflik kepentingan di sini.

Kejanggalan ketiga, penyidik Kejakgung sudah menebar ancaman kepada para tersangka, sesaat setelah proses penyidikan berlangsung. “Kami menilai ini merupakan sikap tidak profesional jaksa dalam melakukan penyidikan, karena merupakan bentuk ancaman secara langsung,” tandas Maqdir.

Sikap yang ditunjukkan oleh Jaksa tersebut menurut Maqdir Ismail bukanlah contoh penegakan hukum yang baik. Namun sebaliknya, merupakan pencederaan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada penegak hukum.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)