JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan akan terus mendorong penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Pemerintah bahkan telah menyiapkan regulasi baru guna meningkatkan animo masyarakat maunpun industri agar mau memasang PLTS Atap.

Namun demikian jika PLTS Atap nanti sudah masif digunakan, minimal di pulau Jawa akan ada konsekuensi baru yakni berkurangnya penggunaan pembangkit lain. Selama ini ada dua jenis pembangkit yang jadi penopang utama pemasok listrik di Jawa Bali yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) serta Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Kementerian ESDM memilih pembangkit listrik bertenaga gas yang akan diganti nantinya dengan PLTS Atap.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan apabila PLTS Atap nanti masuk ke sistem PLN dan tidak diikuti dengan penambahan demand listrik yang tinggi maka mau tidak mau akan ada pembangkit yang dimatikan.

“Tentu saja kalau demand tidak tambah tapi dengan mengurangi pembangkit yang ada. Dalam hal ini yang paling mungkin ada dua yang berbasis gas dan batu bara. Yang paling gampang dari sisi ekonomi dan teknis yakni mengurangi pembangkit listrik berbasis gas yang melalui pipa, LNG atau CNG,” kata Rida disela konferensi pers virtual, Jumat (27/8).

Rida mengatakan pembangkit gas lebih banyak berfungsi sebagai follower atau peaker jadi bukan baseload. Sehingga dari sisi teknis lebih memungkinkan untuk digantikan oleh PLTS Atap. “Gas bisa naik turun, itu secara teknis lebih mudah dibandingkan dengan PLTU,” ungkapnya.

Dimatikannya PLTG jika PLTS Atap sudah banyak digunakan tentu berimbas terhadap konsumsi gas PT PLN (Persero). Pemerintah tidak menampik bahwa nantinya akan ada pengurangan konsumsi gas.

Menurut Rida, saat ini beban puncak di Jawa Madura Bali (Jamali) 25 ribu Megawatt (MW) dan di dalamnya ada peran gas dan batu bara, serta panas bumi sebagai basedload. Dengan masuknya PLTS Atap, misalnya 1 GW itu akan meng-adjust atau menyesuaikan pembangkit yang sifatnya follower, yaitu pembangkit gas. “Besaran kontribusi pembangkit berbasis gas dibandingkan dengan beban puncak Jamali yang 25 ribu MW, gas itu karena sifatnya follower turun 3 ribu MW sampai 6 ribu MW,” ungkap Rida.

Berdasarkan kajian Ditjen Ketenagalistrikan, untuk PLTS kapasitas 1 Gigawatt (GW), ada pengurangan konsumsi gas sebesar 62,788 MMBTUD, atau 7% dari total pemakaian gas per hari untuk pembangkitan listrik. “Itu di wilayah Jawa Madura Bali,” tukas Rida.

Rida menyebut dari sisi keekonomian penggunaan PLTS Atap dinilai akan lebih efisien dari sisi biaya operasi. Jika dibanding biaya operasi pembangkit gas dengan harga gas US$6 per MMBTU tentu penggunaan PLTS Atap bisa menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP). BPP memiliki dua kompenen,  fuel cost dan non fuel cost. Untuk fuel cost itu ada tiga komponen. Satu pembelian listrik dari IPP, kedua pembelian bahan baku untuk pembangkit PLN sendiri, dan ketiga sewa pembangkit.

“Secara nominal BPP turun, karena yang kita turunkan pembangkit mahal dibandingkan PLTS Atap yang murah. Jadi ada penghematan di situ ujung ujungnya ke BPP,” kata Rida.

Pemerintah menargetkan PLTS Atap bisa terbangun hingga 3,6 GW pada 2025. Jumlah sebesar itu masih bisa ditoleransi karena tidak terlalu banyak konsumsi gas yang dikurangi. Selain itu tidak ada kontrak jual beli gas yang dilanggar. “Kan kalau gas bisa naik turun, Menurut saya enggak masalah, enggak melanggar kontrak. Dari sisi BPP malah berkurang” kata Rida.(RI)