SUNARNO harus menyiapkan banyak benih padi setiap kali masuk musim tanam. Tidak tanggung-tanggung benih yang dibutuhkan jumlahnya bisa mencapai 45 Kg. Hal itu wajar karena diperlukan dalam jumlah tidak sedikit untuk sekali tanam sebagai langkah antisipasi jika ada batang yang gagal panen. Berbagai rintangan kerap harus siap dihadapi Sunarno ketika menjalankan metode tanam konvensional, utamanya adalah serangan hama yang kerap menghantuinya setiap jelang musim panen tiba. Belum lagi dengan hasil panen yang dirasakan tidak ada peningkatan yang berujung pada pendapatan yang tidak tumbuh.

Untungnya kegusaran hati Sunarno perlahan sirna. Tepatnya sejak tahun 2015 lalu ketika dia dan 35 petani lainnya di Kelompok Tani (KT) Harapan Mulya, Desa Libukan Mandiri Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan mulai diperkenalkan dengan budidaya padi ramah lingkungan yaitu System of Rice Intensification (SRI) Organik atau tanam padi organik oleh PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

Tidak mudah. Itu satu kata yang tepat bagi Sunarno saat memutuskan untuk hijrah ke tanam padi organik. Ketika beralih menggunakan metode tanam organik maka Sunarno dan rekan-rekannya harus siap banting setir dalam cara bercocok tanam. Beberapa prinsip baru harus ditegakkan diantaranya pengolahan tanah sehat dengan menggunakan bahan organik, benih sehat dan bermutu melalui uji benih, bibit ditanam berumur muda, tunggal, dangkal dan horizontal, transplantasi dilakukan cepat (kurang dari 15 menit) dengan jarak tanam lebar, penyiangan dilakukan empat kali, penggunaan mikroorganisme lokal (MOL) minimal empat kali, kondisi tanah lembap atau basah tidak digenang, serta pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan dengan pengendalian hama terpadu (PHT) untuk menghindari penggunaan pestisida sintetis.

Proses penyiangan (Foto/Dok/Vale Indonesia)

Sunarno menceritakan beralih menjadi petani padi organik awalnya bukan perkara mudah terutama dari sisi persiapan sebelum masuk musim tanam. Jika sebelumnya dia bisa langsung menanam dan menggunakan pupuk kimia dan pestisida sintetis yang dibeli dipasaran. Itu semua harus berubah, karena dia harus menyiapkan dulu pupuk kompos, MOL hingga pestisida nabati.

Selain itu juga ada usaha tambahan. Metode padi organik seakan mengajarkan para petani untuk lebih menghargai apa yang mereka tanam. Jika pada metode konvensional hanya tinggal berikan bahan kimia dan ditinggal begitu saja maka dengan tanam organik para petani dituntut untuk lebih dekat dengan tanamannya. Ada kewajiban untuk melakukan berbagai proses tambahan lain, seperti lebih sering melakukan penyiangan atau pengamatan sebelum mengambil tindakan untuk mengatasi organisme pengganggu tanaman.

Tidak mudah memang. Apalagi untuk menerapkan metode tanam organik kebutuhan pupuk kompos juga besar dan akan sulit jika sumber atau pasokannya terbatas. Untungnya Sunarno rekan-rekannya sudah satu visi, sama-sama mau hijrah dari metode tanam konvensional dan organik sehingga kerjasama antar petani menjadi lebih erat dalam pembuatan pupuk kompos dan penyiangan.

Apa yang kita tabur itu juga yang kita tuai. Itu kiranya pepatah yang tepat bagi Sunarno dan rekan-rekannya sesama petani. Ia menceritakan usahanya tidak sia-sia. Ini ditunjukkan dari hasil panen yang berlipat ganda melebihi apa yang dihasilkan oleh metode tanam konvensional. “Selama menjadi petani konvensional, dalam beberapa tahun saya hanya mendapatkan penghasilan Rp6-9 juta sekali panen. Sekarang, baru saja menerapkan pola SRI Organik, saya mendapatkan penghasilan Rp22,5 juta,” kata Sunarno.

Pada tahun-tahun selanjutnya, penghasilan Sunarno terus meningkat bahkan bisa tembus hingga Rp25 juta pada 2020. Dia mengaku sekarang hasil panennya tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar atau primer seperti makanan dan lainnya tapi bisa juga memenuhi kebutuhan sekunder sepertu sudah mampu merenovasi rumah, membeli motor, kulkas, dan bahkan keluarganya bisa bersilaturahmi ke kampung halamannya di Sragen, Jawa Tengah. Selain itu, Sunarno juga mampu menyekolahkan anak perempuannya di sebuah perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah. “Sekarang, anak saya sudah semester tujuh,” kata Sunarno.

Yusup Rante, rekan Sunarno sesama petani juga merasa telah mengambil keputusan yang tepat dengan hijrah metode tanam padi. Dia menceritakan keputusan untuk menggeluti tanam organik memang cukup berat diawal. Maklum dia sudah bertahun-tahun menjalankan kebiasaan tanam konvensional.  “Pekerjaan yang tadinya praktis saat menjadi petani konvensional harus berubah menjadi pekerjaan yang tidak mudah,” ujar Yusup.

Untungnya Yusup bukan tipikal yang mudah menyerah. Dengan tekun dia ikuti instruksi saat pelatihan sehingga kini dalam satu musim, Yusup bisa meraup keuntungan sebanyak Rp24,9 juta dari semula hanya Rp9,6 juta saat bertani konvensional.

Kini, Sunarno, Yusup dan rekan-rekan mereka sudah tidak tergantung lagi dengan yang namanya pupuk kimia, herbisida dan pestisida sintetis. Kini, dari mulai pupuk sampai pestisida nabati, Sunarno mampu menyediakan sendiri. Kini, ia menjelma menjadi seorang petani mandiri.

Nasih Widya Yuwono, Dosen Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa sampah organik yang digunakan para petani dapat diolah menjadi pembenah tanah dan pupuk. Penggunaan bahan-bahan organik dalam kegiatan tanam padi harus didukung karena bahan organik dalam tanah bisa menghidupkan tanah. “Sehingga fungsi tanah untuk produksi biomasa (termasuk pertanian) akan sustain atau berkelanjutan,” kata Nasih kepada Dunia Energi (19/11).

Dia menjelaskan, tanaman apapun akan memberikan hasil terbaik mengikuti kaidah Phenotype (P) atau hasil panen =  Genotype atau benih (G) +  Environment atau lingkungan (E).  Jika kebutuhan unsur hara esensial cukup dan seimbang maka akan dapat hasil terbaik. “Sistem pertanian organik bisa sama atau lebih baik dibanding sistem biasa,” ungkap Nasih.

 

Kolaborasi Dorong Kemandirian Ekonomi

Laode Muhammad Ichman Manajer Social Development Program Vale, menjelaskan sebelum diinisiasi Vale, masyarakat Desa Libukan Mandiri, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan menggantungkan mata pencaharian sebagai petani konvensional yang sangat mengandalkan pupuk non organik dan pestisida.

Jika ditelisik lebih dalam, metode konvensional tidak banyak memberikan manfaat ke masyarakat. Selain butuh modal besar hasilnya juga tidak begitu menggembirakan. Belum lagi dengan hasil atau produk padi yang dihasilkan juga mengandung bahan kimia. Warga dihadapkan pada produk padi yang itu-itu saja, tidak bisa dilakukan peningkatan nilai tambah dari produk tersebut.

Vale kemudian mengambil inisiatif dengan meluncurkan program pelatihan Pertanian Sehat Ramah Lingkungan Berkelanjutan (PSRLB) pada 2015, menggandeng Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Luwu Timu serta konsultan Aliksa. “Hasil pelatihan dilanjutkan dengan tanam perdana pada awal Agustus 2015 dan kemudian panen pertama pada akhir 2015, kata Laode.

Menurut dia tidak mudah untuk mendorong metode tanam organik kepada para petani secara instan, karena itu dalam penerapan metode SRI ini dibutuhkan pendampingan dari tenaga ahli yang terlatih dan berpengalaman. Melalui pendampingan tersebut diharapkan ada transfer ilmu, terutama menyangkut beberapa prinsip budi daya yang sangat berbeda dengan cara konvensional dan mungkin bertolak belakang.

“Selain transfer ilmu kepada petani binaan, melalui pelatihan, pendampingan dan monitoring evaluasi yang dilakukan sejak 2016, Vale juga memberikan bantuan berupa mesin pencacah kompos (chopper), mesin penyiangan, mesin panen (combine) sebanyak tiga unit, pembangunan lantai jemur, satu unit oven gabah dan satu bangunan gudang,” jelas Laode.

Program System of Rice Intensification (SRI) Organik merupakan program pertanian secara berkelanjutan bagian dari Program PPM dan Pengembangan Kawasan Perdesaan Mandiri (PKPM) yang bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi.

Pembuatan pupuk kompos dari kotoran hewan (Foto/Dok/Vale Indonesia)

Sistem ini terbukti memberi banyak manfaat selain ekonomis juga menjaga ekologi agar terus lestari. Dalam menyukseskan program budidaya padi SRI organik untuk menuju pertanian sehat ramah lingkungan dan berkelanjutan, Vale tidak hanya berfokus dalam melakukan transfer pengetahuan dan teknologi kepada petani, atau memenuhi kebutuhan sarana pertaniannya saja, tetapi juga perlu menyiapkan sistem pendukung yang terintegrasi sehingga tercipta masyarakat yang mandiri khususnya bagi masyarakat tani.

“Dalam upaya penyiapan sistem tersebut, Vale memutuskan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan pelaku tani yang ada, serta membangun jejaring kemitraan strategis dengan pemerintah daerah, serta pemangku kepentingan lainnya,” jelas Laode.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Vale, program SRI Organik dinilai berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani binaan Vale yang jumlahnya telah meningkat menjadi 61 orang dengan luasan lahan sekitar 26,4 ha. Hal itu ditunjukkan dengan beberapa pencapaian seperti jumlah anakan meningkat dari 2-3 menjadi 25-30, penggunaan racun dan kimia sintetis menurun dari 100% menjadi 0%, dan kebutuhan benih menurun dari 25-30 kg per ha menjadi 5-7 kg per ha.

Parameter keberhasilan lainnya adalah kebutuhan penyiangan meningkat menjadi empat kali dari sebelumnya hanya dua kali, hasil panen berupa gabah kering pungut (GKP) meningkat dari 4,5 ton per ha menjadi 6,5 ton per ha, nilai jual beras organik lebih mahal dibandingkan beras konvensional, sehingga nilai jual GKP meningkat dari Rp4 ribu per kg menjadi Rp5,5 ribu per kg serta biaya produksi menurun drastis dari Rp6,2 juta per ha menjadi Rp3,5 juta per ha.

Dalam penguatan produk agar beras SRI organik dapat dikenal dan diterima masyarakat, Vale juga terus-menerus menyosialisasikan manfaat mengkomsumsi beras organik untuk kesehatan serta mendorong promosi melalui event yang dilaksanakan oleh Vale, pemerintah daerah dan beberapa pameran di tingkat regional. Vale juga memfasilitasi penyediaan legalitas produk.

Saat ini keseluruhan lahan sudah tersertifikasi Inofice (Lembaga Sertifikasi Pangan Organik). “Dari hasil uji laboratorium menunjukkan produk beras SRI organik tidak menyisakan residu kimia, sehingga aman dikonsumsi oleh tubuh,” ungkap Laode.

Rina Resnawaty, Pakar CSR dan Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip Universitas Padjajaran saat dihubungi Dunia Energi menuturkan tanam padi organik memang banyak diadopsi perusahaan sebagai program Corporate Social Responsibility (CSR), hal ini terkait dengan isu food security yang juga merupakan bagian dari pencapaian target SDGs.

“Program CSR yang mengajak para petani untuk beralih dari cara bertani konvensional ke pola tanam organik biasanya disebabkan oleh isu kesehatan, biaya tanam lebih murah, serta harga jual  padi organik jauh lebih tinggi dibandingkan dengan padi biasa,” kata Risna kepada Dunia Energi.

Selanjutnya hal lain yang juga perlu disiapkan dan mendapat perhatian perusahaan adalah pendampingan bagi petani serta membuka peluang  pemasaran dari hasil tanam organik. Menurut Risna biasanya ketika padi sudah ada, para petani tidak jarang alami kesulitan dalam pemasaran. “Petani kebingungan karena belum disiapkan siapa yang akan menjadi pembeli dari padi organik ini,” ujar Risna.

Secara ideal, Risna menuturkan sebelum melaksanakan peralihan ke padi organik, perusahaan bersama masyarakat perlu melakukan social mapping kemudian perencanaan bersama, sebab pada masa peralihan ini tantangan bagi petani sangat besar. “Termasuk godaan untuk kembali ke pola tanam konvensional,” kata Risna. (RI)