JAKARTA – Kebutuhan investasi untuk penyediaan infrastruktur pengisian daya bagi kendaraan listrik dalam skenario penetrasi yang ambisius, diprediksi sekitar  US$345 juta hingga 2030 dan diperkirakan akan mencapai lebih dari US$1 miliar hingga  2050.

Meski demikian, kebutuhan investasi untuk infrastruktur itu dinilai masih jauh lebih rendah dibanding dengan besaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberikan pemerintah setiap tahun.

“Sebagai contoh, pada 2020, jumlah subsidi mencapai US$1,2 miliar. Investasi tersebut perlu melibatkan partisipasi swasta sehingga dibutuhkan regulasi dan model bisnis yang dapat menarik minat mereka,” ungkap Julius Christian, Peneliti Bahan Bakar Bersih Institute for Essential Services Reform (IESR), baru-baru ini.

Idoan Marciano, peneliti IESR, yang juga penulis kajian tentang kendaraan listrik, mengatakan saat ini sudah semakin banyak pihak swasta yang berinisiatif mengadopsi kendaraan listrik dan membangun infrastrukturnya, seperti perusahaan taksi, produsen motor listrik, perusahaan ride hailing, dan pengembang Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta untuk mengadakan program demonstrasi dan pilot akan meningkatkan kesadaran publik bahwa tren mobil listrik sedang berjalan.

Pemerintah sudah membuat skema kerjasama untuk pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan SPBKLU dengan swasta. Namun untuk semakin menarik minat pengembang swasta, pemerintah perlu memberikan insentif untuk pembangunan infrastruktur tersebut seperti yang dilakukan beberapa negara yang progresif dalam mengadopsi kendaraan listrik.

“Selain harga, ketersediaan stasiun pengisian daya juga sangat menentukan keputusan untuk membeli kendaraan listrik,” ungkap Idoan.

Untuk membuat harga kendaraan listrik terjangkau, pemerintah perlu memberikan insentif dalam bentuk pembebasan pajak dan bea impor untuk mobil listrik, serta pembebasan pajak tahunan selama beberapa tahun pertama. Insentif ini dapat membuat Total Ownership Cost (TOC) kendaraan listrik lebih baik daripada kendaraan mesin bakar.

“Inisiatif pemerintah dengan membentuk konsorsium beberapa BUMN dan investor swasta untuk memproduksi baterai dengan mengandalkan potensi nikel yang cukup besar sebagai bahan baku baterai patut diapresiasi,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR merekomendasikan untuk mempercepat pengembangan industri baterai dengan dukungan R&D dan menciptakan pasar domestik. Pada tahap awal produksi battery difokuskan untuk mendukung produksi kendaraan listrik roda dua lokal.

Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa aktivitas tambang untuk produksi baterai mengikuti kaidah penambangan yang berkelanjutan, menghindari konflik sosial dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Produksi baterai juga menggunakan energi yang besar sehingga upaya efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan merupakan keharusan untuk meminimalisir emisi gas rumah kaca (GRK).

Analisis IESR menemukan bahwa bila pengisian daya mobil listrik dilakukan menggunakan faktor emisi jaringan yang ada sekarang, maka akan meningkatkan emisi GRK dibandingkan dengan mobil konvensional bila memperhitungkan juga emisi dari produksi mobil dan baterainya. Untuk mendapatkan manfaat penurunan gas rumah kaca, maka penetrasi energi terbarukan harus ditingkatkan diatas 23% sehingga dapat menurunkan faktor emisi jaringan (grid emission factor) dibawah 600 grCO2/kWh.

Penetrasi kendaraan listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 15 TWh pada 2030 dan 68 TWh pada 2050. Sebagai pembanding, konsumsi listrik total pada tahun 2018 adalah sebesar 232 TWh. Untuk menghindari beban listrik yang memuncak perlu kebijakan yang tepat pula.

IESR merekomendasikan penerapan tarif listrik Time Of-Use (pembedaan tarif pada beban puncak dan luar beban puncak) sehingga waktu pengisian baterai kendaraan listrik akan teralihkan.

“Penerapan kebijakan tarif listrik Time-of-Use dapat membantu merekayasa perilaku konsumen dalam mengisi daya baterai kendaraan listrik dan menghindari peningkatan beban puncak akibat pertumbuhan kendaraan listrik,” tandas Fabby. (RA)