JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyampaikan permintaan insentif khusus bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada pemerintah seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Insentif ini diusulkan menyusul anjloknya harga minyak dunia hingga dibawah US$ 30an per barel yang mengancam kelangsungan industri hulu migas nasional yang juga dipengaruhi oleh pandemi virus corona atau Covid-19.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengungkapkan usulan ini telah disampaikan dan sedang dalam proses persetujuan di beberapa kementerian terkait. Total ada sembilan usulan insentif dan enam usulan diantaranya perlu persetujuan dari Kementerian Keuangan.

Adapun insentif yang diminta pertama adalah penundaan biaya Abandonment Site Restoration (ASR) atau biaya pasca tambang menurut Dwi dampak dari pemberlakukan insentif ini adalah terhadap perbaikan arus kas kontraktor. “Saat ini sedang finalisasi progres,” kata Dwi dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (28/4).

Kemudian tax holiday untuk pajak penghasilan dengan estimasi dampak corporate and dividen tax rate 40%-48% untuk PSC Cost Recovery dan serta 25% untuk PSC Gross Split dan Pertamina. Namun insentif ini butuh dukungan Kementerian Keuangan. Kemudian insentif ini juga Telah dibahas bersama IPA terkait usulan atas Pembebasan BPT selama laba setelah pajak diinvestasikan kembali di Indonesia.

Selanjutnya adalah penundaan atau penghapusan PPN LNG melalui penerbutan revisi Peraturan Pemerintah (PP) NO 81. Insentif ini sendiri ditujukan bagi blok yang menghasilkan produk gas berupa LNG dengan target perbaikan arus kas kontraktor. Aturan ini tentu memerlukan persetujuan Kemenkeu. “Revisi PP terkait PPN LNG telah dilakukan harmonisasi dan saat ini membutuhkan tanda tangan Menkeu,” ujar Dwi.

Selanjutnya adalah agar Barang Milik Negara (BMN) hulu mgias tidak dikenakan biaya sewa bagi kontraktor yang menandatangani kontrak kerjasama di blok Eksploitasi. Dampak dari insentif ini adalah penguarangan 1% dari gross revenue. Dwi menjealaskan pembahasan insentif ini telah dilakukan bersama dengan SKK Migas, Kementerian ESDM dan DJKN pada 9 April 2020 lalu.

Bisnis LNG memang jadi salah satu yang terdampak cukup besar dari kondisi saat ini, karena itu SKK Migas juga menyampaikan usulan KKKS terkati penghapusan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak sebesar US$ 0,22 per MMBTU. Ini ditujukan untuk blok yang produksigasnya masuk ke sistem Kalimantan Timur. “Estimasi dampak 3,6% dari gross revenue (untuk harga gas US$ 6 per MMBTU). Statusnya sekarang telah ada diskusi dengan LMAN dan akan dilakukan pembahasan lebih lanjut,” jelas Dwi.

Kemudian ada usulan juga penundaan atau pengurangan hingga 100% dari pajak tidak langsung, khususnya untuk blok eksplitasi dengan estimasi dampak 4%-12% dari gross revenur untuk gross split dan 4% dari cost untuk cost recovery ini juga butuh dukungan dari Kemenkeu dimana Kemenkeu perlu terbitkan PMK untuk tunda pajak.

Selanjutnya kontraktor juga mengusulkan insentif agar gas dapat dijual dengan harga diskon untuk volume antara Take or Pay (TOP) dan Daily Contract Quantity (DCQ).

Insentif selanjutnya adalah dengan pertimbangan keekonomian, memberikan insentif (untuk batas waktu tertentu) seperti depresiasi dipercepat, perubahan split sementara (misalnya sliding scale), Domestic Market Obligation (DMO) full price. Ini akan berdampak pada meningkatnya keekonomian lapangan saat ini SKK Migas menunggu pengajuan dari para kontraktor blok mana saja yang akan ajukan insentif.

Dukungan dari kementrian yang membina industri pendukung hulu migas (industry baja, rig, jasa dan
service, dll) terhadap pembebasan pajak bagi usaha penunjang kegiatan hulu migas (pemboran dan lainnya) untuk menjaga keekonomian usaha penunjang. “Perlu endorse ke Kementerian Perindustrian dan Kemenkeu,” kata Dwi (RI).