JAKARTA – Pemerintah akhirnya secara resmi membentuk Indonesia Battery Corporation (IBC). Perusahaan baru ini akan fokus pada pengembangan baterai kendaraan listrik dari hulu hingga hilir. Pembentukan ditandai dengan penandatanganan perjanjian pemegang saham (shareholders’ agreement) yang dilangsungkan pada 16 Maret 2021 lalu oleh empat perusahaan BUMN sektor pertambangan dan energi yakni Holding Industri Pertambangan – MIND ID, PT ANTAM Tbk, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero), dengan komposisi saham sebesar masing-masing 25%.

Untuk urusan investasi, industri baterai dari hulu hingga ke hilir ini akan membutuhkan dana mencapai US$17 miliar hingga 2030 dengan total proyeksi produksi baterai mencapai 140 giga watt hour (GWh).

Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan direksi, komisaris BUMN dan kementerian harus mengejar target agar baterai kendaraan listrik sudah bisa diproduksikan paling tidak pada 2022.

“Kerjaan belum selesai, karena ini baru kertas saja. Yang kami harapkan bagaimana implementasi nantinya terbukti pada 2022, 2023 tentu yang namanya hasil daripada produksinya sendiri,” kata Erick dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Jumat (26/3).

Erick mengatakan proses terbentuknya IBC sudah berlangsung sekitar satu tahun. Indonesia harus memanfaatkan momentum penting era kendaraan listrik karena memiliki kekayaan nikel sekitar 24% cadangan dunia. Nikel merupakan salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik.

“Kita mengambil langkah berani tidak mau kalah dengan Tiongkok, Amerika Serikat maupun Korea Selatan. Kita menjadi pemain global,” kata dia.

IBC nantinya tidak akan sendiri dan akan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga yang menguasai teknologi dan pasar global untuk membentuk entitas patungan di sepanjang rantai nilai industri baterai kendaraan listrik. Mulai dari pengolahan nikel, material precursor dan katoda, hingga battery cell, pack, energy storage system (ESS), dan recycling.

Penjajakan dengan calon mitra sudah dilakukan dari pemain baterai dunia yakni CATL dan LG. CATL siap dengan modal US$5 miliar dan LG mencapai US$13 miliar-US$17 miliar. Namun nantinya IBC masih membuka kesempatan bermitra dengan pemain baterai lainnya misalkan asal Amerika Serikat maupun Jepang.

“Pertengahan April pak Menko Luhut, saya dan menteri perdagangan juga akan ke Amerika. Salah satunya melihat potensi kerja sama dengan pihak di AS. Kami ada rencana mendatangi negeri Jepang yang ingin bicara hal yang sama,” ungkap Erick.

Erick menegaskan berdiri IBC bukan ingin memonopoli industri baterai kendaraan listrik, melainkan menggandeng mitra dengan berbagai pihak. Namun harus tetap terkonsolidasi dengan baik. Pasalnya tanpa konsolidasi maka hilirisasi dikuatirkan tidak berjalan baik dan pada akhirnya hanya mengalihkan kekayaan alam untuk dipakai bangsa lain untuk diolah dan masuk lagi ke dalam negeri dijual.

“Kita bukan ingin memonopoli tapi menjadi lalu lintas hilirisasi dan value added (nilai tambah) agar punya bargaining power lebih besar. Selama ini kita dilihat sebagai market,” kata dia.

Erick mencontohkan kerja sama dengan CATL dan LG bukan hanya memproduksi baterai mobil listrik. Namun juga baterai motor listrik, baterai stabilisator untuk pembangkit energi terbarukan serta baterai tenaga listrik untuk rumah tangga. “Di mobil karena kemampuan partner global player, kita dalam posisi mengalah. Tapi di motor listrik dan stabilisator leading sektor kita,” kata Erick.(RI)