JAKARTA – Polemik mengenai kualitas udara di Jakarta yang kian memburuk belakangan ini telah menimbulkan kesadaran kolektif bahwa udara yang bersih merupakan kebutuhan dasar yang vital bagi publik. Tingginya tingkat polusi udara tidak hanya menjadi kekhawatiran warga Jabodetabek, tetapi juga menjadi sorotan berbagai media asing hingga Jakarta didapuk sebagai salah kota paling beracun di dunia.

Abra Talattov, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, mengatakan dengan kualitas udara yang semakin memburuk ini selain dapat membahayakan kesehatan warga, juga tentunya berpotensi menghambat aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Dia menyayangkan adanya perdebatan mengenai sumber penyebab kotornya langit Jakarta saat kesehatan kesehatan warga terancam. Padahal secara kasat mata dapat dilihat kualitas udara Jakarta sangat dipengaruhi oleh bergeliatnya mobilitas masyarakat pascapandemi.

“Kita ingat betul dimasa pandemi ketika masyarakat lebih banyak berada di rumah, langit Jakarta tampak begitu cerah dan bersih. Namun, kini setelah ekonomi Jakarta mulai bergeliat dan jalanan Jakarta mulai sesak dipadati kendaraan bermotor, udara Jakarta pun terasa pengap dikepung asap,” ujarnya Rabu (16/8/2023).

Hal ini terkonfirmasi dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK) bahwa penyumbang utama pencemar udara utama di Indonesia adalah sektor transportasi dengan porsi 44%, disusul sektor industri 31%.

Dugaan bahwa sektor transportasi memberikan andil yang cukup besar terhadap kualitas udara Jakarta juga terkonfirmasi dari pertumbuhan PDRB sektor transportasi di Jakarta yang tumbuh paling tinggi mencapai 18,1% pada kuartal II-2023.

“Sektor transportasi sebagai biang kerok polusi udara Jakarta tentu makin mengkhawatirkan mengingat tingginya pertumbuhan populasi kendaraan bermotor berbasis fosil di Jakarta,” kata Abra.

Dalam lima tahun terakhir, lanjut dia, populasi mobil penumpang di Jakarta mengalami peningkatan hingga 15,5% menjadi 4,13 juta kendaraan. Sementara populasi sepeda motor meningkat hngga 27,8% menjadi 19,22 juta kendaraan.

“Artinya, dengan rata-rata konsumsi BBM di Jakarta untuk motor sebesar 0,92 liter per hari dan mobil 3,9 liter per hari maka total konsumsi BBM di Jakarta bisa mencapai 17,8 juta liter per hari untuk seluruh populasi motor dan 16,2 juta liter per hari untuk seluruh populasi mobil,” katanya.

Dengan jumlah emisi karbon 1 liter BBM setara dengan 2,4 kg CO2e, Abra menyatakan estimasi total emisi yang dihasilkan dari total populasi sepeda motor dan mobil penumpang di Jakarta mencapai 81,17 juta kg CO2e.

“Dengan menyadari besarnya emisi karbon yang dihasilkan kendaraan berbasis fosil tersebut sudah mestinya menjadi momentum transformasi menuju ekosistem transportasi yang bersih,” tambahnya lagi.

Untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan kendaraan pribadi, Abra mendorong pemerintah agar fokus dalam menyediakan transportasi massal yang nyaman dan terjangkau. “Bahkan untuk mendorong penggunaan transportasi publik yang lebih masif lagi, pemerintah patut mempertimbangkan realokasi sebagian anggaran subsidi BBM untuk tarif transportasi publik.”

Sejalan dengan itu, Abra menilai upaya mengurangi emisi karbon di sektor transportasi juga dilakukan dengan mendorong shifting kendaraan pribadi berbasis fosil menjadi kendaraan berbasis listrik.

Menurut dia, transisi penggunaan kendaraan berbasis listrik dapat memangkas lebih dari separuh emisi karbon dibandingkan kendaraan berbasis fosil yaitu setara 1,2 CO2e per 1,2 kWh listrik dengan komposisi bauran energi pembangkit listrik seperti hari ini.

Dengan adanya insentif fiskal yang saat ini sudah disediakan pemerintah berupa potongan PPN untuk pembelian mobil listrik serta subsidi motor listrik, Abra berharap fasilitas tersebut dapat menjadi daya tarik masyarakat beralih ke kendaraan listrik.

“Tentu untuk menggaet lebih banyak minat masyarakat menggunakan kendaraan listrik, pemerintah harus menjamin tersedianya infrastruktur pendukung ekosistem kendaraan berbasis listrik seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU),” katanya.

Selain itu, Abra turut mendorong pemerintah untuk menunjukkan komitmen menjaga keandalan pembangkit listrik dengan teknologi bersih melaluii perubahan gaya hidup masyarakat menuju transportasi bersih berbasis listrik.

Dia menegaskan pemerintah harus konsisten dalam memastikan transisi energi di sektor ketenagalistrikan sesuai RUPTL 2021-2030 dimana porsi PLTU terhadap bauran energi Indonesia ditargetkan turun dari 67% pada 2021 menjadi 59,4% pada 2030.

Di samping itu, lanjut Abra, terkait PLTU yang beroperasi di ujung barat Pulau Jawa, pemerintah juga harus menjamin bahwa PLTU tersebut telah dilengkapi dengan continuous emission monitoring system (CEMS) sehingga pemerintah dapat memantau emisi yang dikeluarkan oleh PLTU tersebut.

“Hal ini sebagai bentuk transparansi kepada publik bahwa transformasi transportasi bersih didukung oleh sumber listrik dari pembangkit dengan teknologi bersih,” jelas dia. (RA)