Kebutuhan LPG yang setiap tahun mencapai 5 juta-6 juta ton, sebagian besar dipenuhi dari impor.

JAKARTA – Rencana PT Pertamina (Persero) untuk mendapatkan pasokan Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Aljazair baru akan terealisasi pada 2019. Hal tersebut lantaran kuota LPG yang diekspor Sonatrach, perusahaan negara Aljazair yang memegang hak jual beli LPG, sudah cukup banyak.

Toto Nugroho, Senior Vice President Integrated Supply Chain (SVP ISC) Pertamina, mengungkapkan untuk tahun ini kuota ekspor LPG Sonatrach sudah mencapai batas, jika dipaksakan untuk tetap membeli dari sana dikhawatirkan pasokan tidak akan maksimal.

“Aljazair eksportir terbesar. Namun pada 2018 mereka sudah commited, jadi nanti kami coba di 2019,” kata Toto kepada Dunia Energi, Selasa (20/3).

Pertamina bisa saja mengambil LPG Aljazair dari pasar spot internasional, namun untuk mengamankan pasokan dengan harga yang stabil perseroan berniat menjalin kontrak pembelian selama paling tidak enam bulan. Jangka waktu itu yang tidak bisa dipenuhi Sonatrach pada tahun ini.

Namun sebelum benar-benar memutuskan membeli LPG Aljazair, negosiasi terkait harga tetap akan dilakukan.

Menurut Toto, Pertamina sengaja mengincar LPG Aljazair karena ada campur tangan pemerintah, sehingga diharapkan harga yang didapatkan akan lebih murah. Selama ini Pertamina mendapatkan LPG melalui perdagangan jual beli dengan pihak ketiga dan bukan bersumber langsung dari produsen LPG. Padahal jika langsung bernegosiasi dengan produsen bukan tidak mungkin harga yang akan didapatkan lebih murah.

“Kalau Aljazair karena pendekatan government to government harusnya bisa langsung (dengan produsen) tinggal kami lihat keekonomian (harganya),” ungkap dia.

Pertamina selama ini berpatokan terhadap acuan harga kontrak kurang dari Freight On Board (FOB) Saudi Aramco Contract Price (CP) yang saat ini mencapai US$550 per metrik ton (MT) dengan harga minyak dikisaran US$64 per barel.

Selama ini Pertamina telah mencoba untuk  mendapatkan pasokan langsung dari produsen melalui tender terbuka. Namun kebanyakan produsen meminta hanya FOB. “Sementara kapal kami kan belum siap. Jadi kapal kami sandarkan terus siapa yang harga terbaik itu yang diambil,” kata Toto.

Dengan bertransaksi langsung dengan produsen seperti Sonatrach yang di backup jalinan kerja sama antar kedua pemerintahan, Pertamina berharap bisa mendapatkan harga LPG lebih bagus dari harga rata-rata CP Aramco yang dipasok dari berbagai negara seperti Qatar, Arab Saudi dan sekarang juga sudah mulai masuk LPG dari Amerika Serikat.

“Harusnya sih iya karena kan dia posisi lebih jauh, harus muter kebawah Afrika Selatan. Dari Aljazair lebih jauh, tapi tergantung pricing dari pemerintahnya,  kalau pemerintah sudah kasih pricing itu artinya harga terbaik. Kami diminta untuk mencari sumber langsung ke produsen,” papar Toto.

Pertamina menargetkan LPG Aljazair paling tidak bisa memenuhi 10% dari seluruh kebutuhan LPG yang diimpor. Dengan kebutuhan impor LPG 5 juta-6 juta MT, rata-rata Pertamina membeli LPG dari luar negeri sebanyak 11-12 kargo setiap bulan.

“Jadi kalau kami ambil dari sana (Aljazair) 1-2 kargo itu, satu kargo per bulan itu 44 ribu MT. Kami tidak bisa ambil banyak karena kapal belum siap. Jadi mereka juga maunya diambil saja dan tahu beres,” tandas Toto.(RI)