JAKARTA – Realisasi investasi di subsektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) hingga kuartal I 2018 masih jauh dari target

yang dicanangkan pemerintah. Realisasi investasi baru mencapai 14,7% dari target yang dicanangkan sebesar US$2 miliar.

“Akhir kuartal I realisasi US$ 294 juta atau sekitar 14,7% dari taget 2018,” kata Ida Nuryatin Finahari, Direktur Panas Bumi Ditjen Kementerian ESDM dalam pembukaan workshop peluang investasi EBT di Hotel Aryaduta, Jakarta (24/4).

Realisasi investasi mencakup aneka EBT sebesar US$10 juta, kemudian konservasi energi sebesar US$4 juta serta investasi panas bumi sebesar  US$ 280 juta.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, mengakui ada kendala dalam investasi di sektor EBT yang sampai sekarang terus diupayakan penyelesaiannya, yaitu terkait pendanaan.

“Ketersediaan dana murah, kuncinya itu. Begitu dilihat teknologinya tidak kurang juga,” kata Rida.

Untuk itu peran pemerintah sebagai fasilitator penghubung antara para pelaku dengan para lender atau perbankan yang bersedia meminjamkan dana dengan bunga rendah dibutuhkan. “Pendanaan jadi kendalanya, karena itu kami pertemukan pelaku usaha dengan perbankan,” kata dia.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan harus ada sudut pandang yang serta visi yang sejalan antara pelaku usaha dengan pemerintah dalam pengembangan EBT. Jika dilihat dari sisi teknologi sebenarnya bisa disesuaikan dengan potensi yang ada di suatu wilayah tersebut.

Permasalahannya adalah terkait keekonomian dan ujung-ujungnya adalah penetapan tarif listrik. Negara tidak bisa terus menerus memberikan subsidi kepada pengembangan EBT karena kemampuan pendanaan juga terbatas. Jika dipaksakan maka efeknya bisa meluas.

“State bgudget itu limited jadi harus dibagi-bagi porsinya. Kalau kita introduce subsidi maka by law defisit stage budget tidak boleh lebih dari 3 persen GDP,” kata Arcandra.(RI)