JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong Bali untuk  pengadaan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT). Hingga 2025, ditargetkan kapasitas pembangkit EBT bertambah sebesar 350 megawatt (MW).

Ignasius Jonan, Menteri ESDM,  mengatakan saat ini daya mampu pasok listrik di Bali sebesar 1.320 MW, maka pada  2025 daya mampu pasok listrik Bali diharapkan mencapai 2.000 MW. Setengah dari tambahan daya pasok tersebut diharapkan berasal dari energi terbarukan.

“Saran saya dua saja. Pertama, tambahannya itu kan 700 MW. Jadi 350 MW dibangun di Bali dan 350 MW lagi dipasok dari Pulau Jawa, dengan Jawa Bali Connection yang 500 kV. Harapan saya, 350 MW yang dibangun di Bali seluruhnya dari energi baru dan terbarukan (EBT),” kata Jonan, Kamis (22/8).

Pembangkit listrik yang menjadi andalan adalah Pembangkit Listrik Tenga Surya (PLTS) dan penggunaan Crude Palm Oil (CPO) pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). CPO atau yang dikenal sebagai Fatty Acid Methyl Esters (FAME), selain mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), penambahan FAME pada pembangkit juga ramah lingkungan.

“Di Bali saya kira Pembangkit Listrik Tenaga Surya bisa besar. Selain itu, PLTD tidak lagi menggunakan minyak diesel tapi menggunakan minyak Crude Palm Oil (CPO). Itu hitungannya jadi EBT juga,” ungkap Jonan.

Gubernur Bali I Wayan Koster,  mengatakan dorongan pemerintah pusat sejalan dengan posisi Bali sebagai destinasi wisata dunia yang memiliki visi fokus membangun keseimbangan antara alam, manusia dan budaya yang bersih.

“Dalam rangka pelaksanaan visi ini kami menyiapkan skenario Bali mandiri energi dan energinya adalah energi bersih. Kenapa mandiri energi? Karena Bali adalah tujuan wisata dunia dan energinya harus bersih,” kata Wayan Koster.

Peningkatan konsumsi listrik di Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia harus diimbangi dengan infrastruktur ketenagalistrikan yang mumpuni. Pembangunan pembangkit energi bersih yang mengutamakan pembangkit dari EBT di Pulau Dewata juga perlu penguatan agar sistem kelistrikan menjadi lebih stabil, mengingat karakteristik pembangkit EBT bersifat intermiten. Untuk itu pemerintah akan menyatukan sistem kelistrikan Bali dengan sistem di Pulau Jawa, agar layanan listrik lebih andal dan konsisten.

Jonan berharap dengan kerja sama dapat meningkatkan pembangunan pembangkit EBT di Bali, mengingat Bali memiliki berbagai potensi energi pembangkit EBT yang dapat dikembangkan, seperti surya, panas bumi, air, biomassa, angin, hingga arus laut. Pengembangan ini juga memdorong tercapainya target bauran energi secara nasional dari EBT yang sebesar 23% pada 2025.

Dengan adanya Jawa Bali Crossing (JBC) lanjut Jonan, akan diperoleh manfaat seperti cadangan bersama sistem Jawa Bali, bauran energi dan skala keekonomian, serta Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik yang rendah karena dapat menggunakan PLTU Ultra Super Critical di Jawa dan transmisi JBC 500 kV.

Saat ini rasio elektrifikasi di Provinsi Bali telah mencapai 100%. Sementara daya mampu pembangkit yang dihasilkan untuk kebutuhan pasokan listrik Bali sebesar 1.320 mega watt (MW), yang dipasok dari PLTU Celukan Bawang 380 MW, kabel laut Jawa-Bali 400 MW, PLTDG Pesanggaran 182 MW, PLTG Pesanggaran 22 MW dan pembangkit BBM 336 MW.

Di samping pembangunan JBC 500 kV, kerja sama antara PLN dan Pemerintah Provinsi Bali berencana mengembangkan dan membangun infrastruktur Hub LNG dan Terminal LNG di lokasi Gilimanuk, Benoa, dan lokasi lain di Provinsi Bali.

Menurut Jonan, peningkatan kapasitas jaringan listrik menuju jaringan cerdas (smart grid) untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pembangunan pembangkit EBT di Bali juga diminta dapat berjalan dengan sesuai rencana. Diharapkan seluruh proyek ini cepat terealisasi, sehingga listrik dari energi bersih ini dapat segera dimanfaatkan untuk kendaraan listrik, kompor listrik, dan peralatan lainnya.

“Pemerintah sekarang mendorong penggunaan kompor listrik atau kompor induksi sebagai pengganti kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Dengan energi listrik berasal dari sumber-sumber energi domestik, kompor listrik bisa mengurangi impor LPG yang mencapai 5 juta ton setahun,” kata Jonan.(RI)