NEW YORK– Harga minyak mentah melonjak hingga 2% pada akhir perdagangan Senin atau Selasa (9/4) pagi WIB) di tengah pasokan global akam semakin ketat. Kenaikan harga ini merupakan tingkat tertinggi sejak November 2018.

Kantor berita Reuters melaporkan, ketatnya pasokan global tersebut antara lain akibat pertempuran di Libya, pemangkasan produksi yang dipimpin OPEC, dan sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.

Patokan internasional, minyak mentah Brent untuk pengiriman Juni 2019 naik US$0,76 atau 1,10%, menjadi ditutup pada US$71,10 per barel di London ICE Futures Exchange. Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei naik US$1,32 atau 2,1%, menjadi menetap pada U$64,40 per barel di New York Mercantile Exchange.

Tingkat tertinggi sesi Brent mencapai US$71,19 per barel dan WTI mencapai US$64,44, keduanya merupakan yang tertinggi sejak November.

Bullish (kegairahan) ini terus berjalan dengan tertinggi baru dalam lima bulan pada hari ini, semakin menguatkan komunitas spekulatif yang baru-baru ini tertarik kembali ke sisi jangka panjang WTI dengan yakin,” kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates, dalam sebuah catatan, seperti dilansir Reuters.

Para pedagang menyatakan harga memperpanjang kenaikan setelah data dari perusahaan intelijen pasar Genscape menunjukkan stok minyak mentah di Cushing, Oklahoma, titik pengiriman untuk WTI, turun sekitar 419.000 barel pekan lalu.

Investor sudah fokus pada pasokan selama sesi karena pertempuran di Libya yang kaya minyak mengancam akan mengganggu ekspor. Pasukan Timur maju di ibu kota negara itu, mengabaikan permintaan global untuk gencatan senjata.

Komandan militer Libya yang berbasis di timur, Khalifa Haftar, melancarkan operasi militer pekan lalu untuk mengambil alih ibu kota Tripoli, tempat pemerintah yang didukung PBB berpangkalan.

Libya secara politis terbagi antara pemerintah yang didukung PBB dan pemerintahan paralel yang bersekutu dengan Khalifa Haftar.

“Kekerasan di Libya memikat pasar,” kata John Kilduff, seorang mitra di Again Capital LLC di New York. “Mengingat upaya intens dari Arab Saudi dan negara-negara lain untuk membatasi produksi, ada perasaan bahwa kehilangan minyak Libya, sekali lagi, memiliki potensi krisis pasokan.”

Untuk menopang harga, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya seperti Rusia berjanji menahan sekitar 1,2 juta barel per hari (bph) pasokan mulai awal 2019. Kelompok itu, yang dipimpin oleh Arab Saudi, telah melampaui ekspektasi sepanjang tahun ini.

“Pemotongan pasokan OPEC yang sedang berlangsung dan sanksi-sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela telah menjadi pendorong utama harga sepanjang tahun ini,” kata Hussein Sayed, kepala strategi pasar di broker berjangka FXTM.

Terlepas dari faktor-faktor yang mendorong harga, masih ada faktor-faktor yang dapat menurunkan harga minyak tahun ini.

Rusia adalah peserta yang enggan dalam perjanjiannya dengan OPEC, dan Kirill Dmitriev, kepala dana investasi langsung Rusia, memberi isyarat pada Senin (8/4/2019) bahwa Rusia ingin meningkatkan produksi minyak ketika bertemu dengan OPEC pada Juni. Rusia juga diproyeksikan meningkatkan produksi sebesar 228.000 barel per hari, yang sebelumnya telah memangkas produksinya

Khalid al-Falih, Menteri Energi Saudi, pada Senin (8/4) mengatakan masih terlalu dini untuk mengatakan apakah ada konsensus di antara OPEC dan sekutunya untuk memperpanjang pemotongan, tetapi pertemuan bulan depan akan menjadi penting. (RA)