JAKARTA – Dunia saat ini dinyatakan Tengah menghadapi ancaman katastropik yang sama dampaknya seperti pandemi COVID-19, yaitu perubahan iklim.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, mengatakan bahwa setiap negara harus siap berkontribusi pada isu perubahan iklim yang menjadi persoalan global. Tidak ada batasan wilayah dampak dari perubahan iklim.

“Indonesia sebagai negara besar, turut diminta berperan aktif di dunia internasional dalam meminta komitmen negara-negara tetangga dan negara-negara maju dalam memenuhi konsekuensi sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan transformasi dari high carbon menjadi low carbon atau bahkan zero carbon emission,” kata Sri Mulyani, dalam acara webinar bertema “Climate Change Challenge: Preparing for Indonesia’s Green and Sustainable Future”, yang diselenggarakan Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) Universitas Indonesia (UI), Jumat (11/6).

Menurut Sri Mulyani, beberapa sektor memiliki peranan penting seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui deforestasi yang telah membuahkan hasil positif dengan mendapatkan dana kompensasi dari penurunan CO2 dari deforestasi, termasuk juga pekerjaan rumah bidang energi terbarukan dengan target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025.
Adapun isu lingkungan hidup termasuk di dalamnya mengenai penurunan emisi karbon dan komitmen Perjanjian Paris merupakan agenda prioritas nomor enam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan emisi CO2 adalah dengan mendorong pemanfaatan potensi energi baru terbarukan menjadi sumber tenaga listrik.

Riki Firmandha Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero), mengatakan Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber energi panas bumi (geothermal) baik low enthalpy, medium enthalpy dan high enthalpy.

“Titahnya, Indonesia pantas untuk menjadi Geothermal Center of Excellence, dimana SDM, pabrikan, supply chain seperti drilling dan pipa-pipa layak di miliki di Indonesia, bahkan Indonesia dapat ekspor produk tersebut ke luar negeri yang mengembangkan Geothermal. Tidak seperti saat ini,” ujar Riki.

Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut, tentu diperlukan peran pemerintah. Salah satu alasannya adalah harga listrik energi terbarukan yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan batu bara dan atau saat ini dengan harga listrik PLTS/tenaga surya.

Riki mengatakan dalam mendukung upaya pemerintah untuk derisking eksplorasi, mendorong secara langsung ekonomi lokal, mendorong terciptanya Carbon Credit, mendorong investasi dan jasa dalam negeri, mengurangi impor energi yang sekaligus membantu pemerintah dalam menggung biaya lingkungan (avoided cost), membangun geothermal smallscale project di Indonesia Timur dan daerah isolated (lainnya yang tidak terjangkau dengan jaringan transmisi PLN) untuk Demand Creation, mendorong program pemerintah Renewable Energy Based Industrial Development (REBID) dan Renewable Energy Based Economic Development (REBED), serta merealisasikan target pengurangan emisi sampai tahun 2050 sebagaimana Perjanjian Paris (COP21), diperlukan adanya Geo Dipa sebagai satu-satunya BUMN yang fokus dalam pengembangan energi panas bumi

Riki menekankan visi misi Geo Dipa sejalan dengan apa yang diupayakan oleh Kementerian Keuangan, antara lain mendukung program pemerintah dalam penyediaan listrik yang aman dan ramah lingkungan dan menciptakan keekonomian nasional yang berkeadilan melalui penugasan di sektor energi terbarukan geothermal/panas bumi.

Dia menambahkan, sebagai BUMN dan SMV Kementerian Keuangan, Geo Dipa melaksanakan penugasan untuk merealisasikan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagaimana amanat Perpres 22 tahun 2017, yaitu target PLTP 7,2 GW pada tahun 2025 (sekitar 16% dari total target EBT), serta target PLTP 17,5 GW pada tahun 2050 (sekitar 10% dari total target EBT).

Sementara dalam program sinergi lintas SMV yang dilakukan oleh Geo Dipa antara lain, Realisasi Pembiayaan Infra Struktur sektor Panas Bumi dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI), Pelaksanaan Penjaminan dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII) untuk direct landing proyek PLTP D2P2 dengan ADB, Derisking Eksplorasi (melaksanakan eksplorasi langsung, Government Drilling dan penugasan eksplorasi BUMN), serta ikut mensosialisasikan fasilitas KPBU seperti Project Development Facility (PDF), Viability Gap Fund (VGF), dan Penjaminan Pemerintah yang melalui PT PII.

Riki juga menjelaskan bahwa kebutuhan listrik nasional sesuai target Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan (EBKTE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) adalah sekitar 8.000 MW, sementara saat ini baru terealisasikan sekitar 2.100 MW. Untuk mencapai target tersebut, tidak mungkin hanya mengandalkan peran dari GeoDipa dan IPP, namun juga perlu dukungan pemerintah yang lebih besar lagi melalui BUMN Geo Dipa dalam derisking pengusahaan.

Riki mengatakan, dalam mengurangi kadar emisi karbon dunia melalui PLTP di Indonesia menjadi penting sekali karena total penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional yang akan diberikan oleh Geo Dipa dalam road map perusahaan untuk 1.000 MW PLTP baru menyumbangkan sekitar 130 juta ton CO2 emisi.

“Saat ini Geo Dipa masih menyumbangkan sekitar 5 juta ton CO2 emisi dan apabila 8.000 MW PLTP terjadi di Indonesia berarti Indonesia akan menyumbangkan 8 x 130 atau sekitar 1.040 juta ton CO2 emisi setiap tahunnya,” kata Riki.(RA)