JAKARTA – Fenomena perubahan iklim menuntut semua negara di dunia untuk serius dalam upaya mengurangi emisi karbon.

Hendri Firman Windarto, Staf Ahli Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dewan Ketahanan Nasional, mengatakan apabila pemerintah tidak serius dalam upaya mengurangi emisi karbon maka sebagian besar wilayah Indonesia akan tenggelam dalam kurun waktu beberapa dekade.

“Salah satu target penting (mengurangi emisi) adalah bagaimana menggantikan batu bara secara bertahap yang menjadi andalan utama energi primer, di mana target pencapaian energi primer yang dibutuhkan akan terus meningkat seiring dengan target pencapaian pertumbuhan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional. Inilah yang sesungguhnya merupakan target dari transisi energi,” kata Hendri dalam acara diskusi virtual yang diselenggarakan PUU Badan Keahlian DPR baru-baru ini.

Dia menjelaskan bahwa tentunya energi primer tersebut harus memiliki kemampuan dan keekonomian yang sama dengan batu bara, yang dapat berfungsi sebagai baseload dan memiliki biaya pembangkitan murah.

“Hanya ada dua opsi, hydro skala besar dan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) khususnya generasi ke IV,” ujarnya.

Hendri menambahkan, peran penting nuklir sebagai komponen transisi energi telah dipertegas dalam naskah akademis Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang menyebutkan bahwa nuklir sejalan dengan perspektif transisi energi, yang tertulis dalam halaman 46.

Dia juga menyingung mengenai munculnya pendapat bahwa nuklir sudah memiliki aturan sendiri, yaitu UU Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran maka tidak perlu masuk dalam RUU EBT. Pendapat tersebut dinyatakan tidak benar dan perlu untuk disampaikan perbedaan prinsip antara UU 10/1997 dengan RUU EBT khususnya mengenai energi nuklir yang sedang disusun dan dibahas di DPR.

UU Ketenaganukliran mengatur mengenai tata cara pelaksanaan, teknis dan keselamatan terhadap kegiatan di bidang ketenaganukliran, tetapi tidak mengatur mengenai masuknya energi nuklir dalam bauran EBT dimana selama ini terkendala dengan adanya opsi terakhir dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Menurut Hendri, dengan masuknya energi nuklir dalam RUU EBT menunjukkan narasi opsi terakhir terhadap nuklir yang selama ini menjadi penghalang pembangunan PLTN, sudah tidak dapat dipertahankan.

“Sudah tidak dapat diragukan lagi apabila dalam UU EBT ini memfokuskan kepada isu perubahan iklim, maka nuklir adalah jawaban paling tepat dan realistis,” tandas Hendri.(RA)