JAKARTA – PT Freeport Indonesia sejak 2018 lalu telah resmi menjadi bagian dari PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum dibawah induk holding Mineral Industry Indonesia (MIND ID) melalui akuisisi 51% saham. Namun sejak diakuisisi Freeport  belum memberikan dividen dan malah menambah beban MIND ID yang harus  membayar kewajiban akibat penerbitan global bond dulu untuk membiayai akuisisi saham Freeport.

Manajemen MIND ID beralasan bahwa ketiadaan setoran dividen pada 2019 dan 2020 ini sesuai perencanaan karena Freeport fokus melakukan kegiatan tambang bawah tanah. Dividen baru bisa diberikan pada 2021.

Orias Petrus Moedak, Direktur Utama MIND ID, mengakui penerbitan global bond atau terakhir yang baru saja dilakukan Inalum salah satu tujuannya adalah untuk membayar utang dari utang saat akuisisi Freeport yang jatuh tempo pada 2021. Penerbitan global bond di awal tahun ini dilakukan untuk mengantisipasi kondisi pasar yang lesu akibat anjloknya pertumbuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Saat membeli saham Freeport Indonesia sebesar 51% senilai US$ 3,85 miliar, Inalum menerbitkan obligasi US$4 miliar dengan bunga bervariasi. Inalum menawarkan global bond dengan empat macam tenor, mulai tiga tahun hingga 30 tahun. Untuk tenor tiga tahun senilai US$ 1,1 miliar dengan kupon 5,23%. Tenor lima tahun ditawarkan senilai US$ 1,25 miliar dengan dengan kupon bunga 5,71%. Untuk tenor 10 tahun ditawarkan senilai US$1 miliar dan bunga 6,53%. Serta tenor 30 tahun senilai US$ 750 juta dan kupon 6,757%.

Pada Mei 2020, Inalum baru menerbitkan global bond lagi sebesar US$ 2,5 miliar, US$ 1 miliar di antaranya untuk membayar utang jatuh tempo pada 2021. Serta US$ 500 juta untuk membayar yang jatuh tempo pada 2023.

“Kami harus bayar bunga US$250 juta per tahun. Kami melihat situasi ini dan utang kami ada trance. Ada tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun dan tiga puluh tahun. Saat ada utang tiga-lima tahun, kalau berdampak negatif operasi maka kami akan kesulitan cari pendanaan yang US$ 1 miliar kemarin. Makanya kami langsung masuk pasar saat refinancing kemarin. Kami US$ 2,5 miliar, lalu refinancing yang jatuh tempo 2021-2023. US$ 1 miliar untuk utang 2021. US$ 500 juta untuk jatuh tempo 2023,” ungkap  Orias di Jakarta, Selasa (30/6).

Menurut Orias, langkah tersebut bisa mengurangi tekanan terhadap perusahaan karena Freeport Indonesia juga belum memberikan dividen yang dijadwalkan baru diberikan tahun depan.

“Jadi tekanan kami untuk bayar utang tahun depan enggak seberat kalau kami tidak melakukan apa-apa (terbitkan global bond),” ujar dia.

Meskipun menambah utang, Orias meyakinkan bahwa kebijakan utang terbaru untuk membayar utang akuisisi Freeport, utang anak usaha dan untuk pembelian 20% saham PT Vale Indonesia tidak akan menganggu keuangan induk ataupun anak perusahaan.

Selain itu, juga tidak akan ada collateral atau agunan yang digadaikan Inalum dari pinjaman ini karena dicari lewat pasar modal, sama seperti saat perusahaan mencari pendanaan US$ 4 miliar untuk membeli saham di Freeport.

“Pinjaman yang US$ 4 miliar dan US$ 2,5 miliar enggak ada collateral-nya, clear. Ini kami terbitkan global bond, ada 300 institusi yang partisipasi seluruh dunia. Karena ini di pasar modal, pembelinya bergerak setiap hari. Tapi yang pasti enggak ada collateral,” kata Orias.(RI)