JAKARTA – Utang PT PLN (Persero) selama lima tahun terakhir ternyata sudah hampir menembus Rp500 triliun. Peningkatan utang seiring dengan masifnya pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.

Zulkifli Zaini, Direktur Utama PLN,  mengatakan untuk mengerjakan proyek 35 ribu megawatt (MW) PLN tidak memiliki kemampuan pendanaan yang mumpuni. Untuk itu setiap tahun utang terus membengkak untuk mendanai proyek tersebut.

“Lima tahun terakhir ini PLN membiayai investasi dengan utang. Lima tahun yang lalu utang PLN minimal ngak sampai Rp50 triliun, tapi karena utang tiap tahun Rp100 triliun, maka utang PLN pada  2019 kemarin mendekati Rp500 triliun,” ungkap Zulkifli saat rapat dengan Komisi VI DPR, Kamis (25/6).

Zulkifli  mengakui kondisi yang dialami PLN ini tidak sehat. Lantaran PLN ternyata tidak mampu mendanai investasinya sendiri atau minimal ikut berkontribusi dalam investasi pada proyek 35 ribu MW.

“Sebagai bankir saya paham ini nggak sehat. Kalau ada debitur datang ke bank, mau investasi Rp 100 triliun, saya tanya, dana sendiri berapa? Saya minta 30%, tapi ini kan cash PLN dana sendiri 0, pinjaman 100%. Ini kondisinya,” kata Zulkifli.

Zulkifli sebelumnya juga sempat membeberkan bahwa kebutuhan investasi jangka panjang PLN tidak akan bisa lepas dari utang. Jika rata-rata per tahun butuh Rp 100 triliun maka hingga 2024 kebutuhannya mencapai Rp400 triliun.

PLN kata Zulkifli kemungkinan besar masih akan mengandalkan sumber pendanaan investasi saat ini masih bertumpu pada penerbitan obligasi atau utang ke perbankan.

Tahun lalu saja PLN sudah beberapa kali menerbitkan obligasi. PLN pada tahun ini aktif menghimpun pendanaan, baik melalui skema global bond atau penerbitan surat utang atau dengan pinjaman sindikasi. Untuk penerbitan global bond sudah dilakukan beberapa kali pada tahun ini.

Pada November 2019, PLN menerbitkan global bond US$1,5 miliar. Global bond ditentukan dalam tiga tranche yaitu US$500 juta dengan tenor 10 tahun 3 bulan, US$500 juta dengan tenor 30 tahun 3 bulan, dan €500 juta dengan tenor 12 tahun, serta tingkat bunga (coupon) masing-masing 3.375%, 4,375%, dan 1,875%.

Pada September 2019, PLN juga sudah menerbitkan obligasi Samurai melalui penawaran umum kepada para investor di Jepang dan berhasil mendapatkan dana segar sebesar JP¥23,2 miliar. Obligasi diterbitkan dalam tiga tranche yang terdiri dari masing-masing tenor tiga tahun, lima tahun, dan 10 tahun dengan kupon tetap.

Pada Juli 2019,  PLN menertbitkan global bond mencapai US$ 1,4 miliar. Global bond yang diterbitkan saat itu diklaim memiliki tingkat bunga terendah sepanjang sejarah penerbitan obligasi dalam dolar Amerika Serikat, baik oleh PLN maupun dari BUMN manapun di Indonesia untuk tenor 10 dan 30 tahun dengan dual-trance US$ Global Bond masing-masing sebesar US$700 juta diterbitkan dengan tingkat bunga 3,875% untuk tenor 10 tahun dan 4,875% untuk tenor 30 tahun.

Pada awal 2020, PLN mendapatkan pinjaman kredit sindikasi mencapai Rp16,75 triliun, yang terdiri dari skema konvensional sebesar Rp13,25 triliun dan skema syariah sebesar Rp3,5 triliun dengan jangka waktu 10 tahun. Dalam pelaksanaan perjanjian pendanaan investasi tersebut, PLN tidak hanya menggunakan skema konvensional melainkan juga skema syariah (pembiayaan musyarakah).

Sindikasi perbankan kala itu terdiri dari Bank BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, SMI, BNI Syariah dan BCA Syariah. Dana tersebut digunakan untuk modal membangun gardu induk dan transmisi dalam rangka mendukung program 35 Gigawatt.

Zulkifli mengatakan setiap tahun ada tambahan pembangkit yang membutuhkan biaya mencapai Rp 90 triliun – Rp 100 triliun. Karena itu selain berutang, PLN juga harus menggandeng pihak lain untuk ikut kerjakan proyek 35 ribu MW.

Karena kebutuhan dana mencapai Rp 100 triliun itu belum termasuk dengan infrastruktur pendukung seperti jaringan transmisi dan distribusi yang bisa menelan dana mencapai Rp 50 triliun – Rp 60 triliun per tahunnya.

Menurut Zulkifli, investasi sebesar itu tidak akan bisa dipenuhi oleh PLN. Sehingga PLN juga menggandeng pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP).

“Kebutuhan investasi pembangkit dan juga investasi itu Rp 150 triliun – Rp 160 triliun nggak akan bisa dipenuhi oleh PLN sepenuhnya, maka partisipasi swasta itu penting,” kata Zulkifli.(RI)