JAKARTA – Direksi PT PLN (Persero) dinilai patut untuk dievaluasi menyusul sejumlah target yang hingga kini belum tercapai dan tidak mengalami perkembangan signifikan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR),  mengaakan pemerintah sebagai pemilik saham PLN memiliki kewenangan untuk evaluasi tersebut.

“Soal kinerja, seharusnya memang dievaluasi. Pemerintah sebagai pemilik saham utama di PLN bisa melakukan evaluasi direksi secara berkala berdasarkan KPI yang ditetapkan,” kata Fabby kepada Dunia Energi, Senin (14/10).

Menurut Fabby, beberapa fokus yang bisa dievaluasi pemerintah adalah kinerja direksi berkaitan dengan implementasi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). ”Efisiensi pengusahaan, kualitas pelayanan kelistrikan, pencapaian akses kelistrikan, dan investasi,” ujarnya.

Beberapa waktu lalu beberapa fokus tersebut sempat menjadi ujian PLN. Salah satunya, kejadian blackout atau padam listrik secara masal di wilayah sebagian Pulau Jawa selama beberapa jam. Beberapa wilayah bahkan mencapai 20 jam lebih.

Selain itu, pertumbuhan konsumsi listrik juga tidak kunjung capai target. Ini juga yang disoroti oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Jonan bahkan mencibir direksi PLN yang memiliki gaji besar namun dinilai tidak optimal membangun perencanaan pengembangan PLN dari sisi penjualan listrik.

“Masa yang jualan PLN yang sibuk saya sama Pak Budi Karya (Menteri Perhubungan). Direksi PLN itu penghasilannya 30 kalinya Menteri ESDM,” kata Jonan beberapa hari lalu.

Dalam laporan keuangan PLN 2018 jumlah gaji per bulan direksi PLN memang besar. Per bulannya direktur utama mendapatkan gaji pokok mencapai Rp 350 juta. Sementara anggota direksi lainnya sebesar Rp 297,5 juta. Itu belum ditambah dengan berbagai tunjangan seperti Tunjangan Hari Raya (THR) satu bulan gaji serta tunjangan perumahan Rp 27,5 juta dan asuransi premi yang ditanggung 25% dari satu bulan gaji.

Fabby mengungkapkan penilaian konsumsi atau penjualan listrik sebenarnya tidak tepat diserahkan semua ke PLN karena ada andil pemerintah juga melalui regulasi yang bisa mendorong hal itu. Kementerian ESDM juga bisa mengkaji perlu atau tidaknya kebijakan pemerintah menyiapkan program dan kebijakan yang strategis untuk meningkatkan permintaan listrik.

Soal PLN kurang aktif dalam mendorong konsumsi listrik, perlu ditanyakan juga, apakah memang permintaan listrik itu dipengaruhi oleh aksi PLN semata.

“Listrik adalah input ekonomi dan tingkat pertumbuhan listrik juga dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor lainnya yang tidak dalam kendali PLN. Jadi menurut saya tugas meningkatkan permintaan listrik adalah tugas pemerintah, lewat kebijakan dan program,” kata Fabby.(RI)