JAKARTA – Para pelaku usaha di sektor minyak dan gas (migas) mengeluhkan proses bisnis di Indonesia yang masih sangat berat. Tumpang tindih aturan dan perizinan yang selama ini terjadi menjadi biang kerok tidak berkembangnya bisnis dan ujung-ujungnya berdampak juga pada pertumbuhan ekonomi.

Sammy Hamzah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan inisiatif pemerintah dengan memangkas proses perizinan usaha dari 60 perizinan menjadi hanya delapan perizinan untuk meningkatkan iklim investasi agar menjadi lebih menarik memang patut diapresiasi. Namun dalam implementasinya masih ada ganjalan akibat desentralisasi kekuasaan yang berlebihan.

“Iklimnya tidak menarik karena ada desentralisasi kekuasaaan, demokrasi besar-besaran. Apa yang terjadi timbul raja-raja kecil, ego-ego kecil dalam pemerintahan sehingga kebijakan yang dulu hanya ada di satu orang, sekarang belum tentu demikian. Bisa berbeda antara menteri dengan gubernur, lalu dengan bupati, ungkap Sammy pada seminar Indonesian Economic Review 2016 di Jakarta, Rabu (30/11).

30-migas

Menurut Sammy, kondisi ini harus segera diubah. Pasalnya sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kondisi energi fosil, terutama minyak di Indonesia sudah semakin mengkhawatirkan dengan tidak kunjung diketemukannya cadangan baru. Produksi minyak saat ini adalah hasil dari kegiatan eksplorasi sekitar 40 tahun lalu. Padahal potensi Indonesia masih merupakan salah satu yang terbesar dan negara kaya akan energi fosil.

“Tidak ada lagi penemuan dalam 10 tahun terakhir. Rasio antara produksi dan temuan hanya 0,5% peggantiannya. Masalah utamanya adalah karena tidak ada eksplorasi yang disebabkan tidak menariknya iklim investasi,” tegas dia.

Pembenahan perizinan untuk meningkatkan kompetensi iklim investasi di tanah air menjadi suatu hal yang wajib karena jika tidak, Indonesia akan tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Myanmar dan Filipina, Kedua negara tersebut memiliki peringkat kemudahan investasi jauh lebih baik dari Indonesia.

Berly Martawardaya, pengamat energi dari Universitas Indonesia, menyatakan perizinan memang selalu menjadi biang kerok dalam lambatnya pengembangan sektor migas. “Untuk izin lahan saja bisa sampai 500 ribu lembar,” tukas dia.

Menurut Berly, apa yang terjadi di blok Masela berpotensi mencoreng pandangan dunia internasional terhadap pengelolaan sektor migas di Indonesia.

“Di Masela misalnya yag sudah masuk sejak 1990-an, masih didorong sana sini. Jadi kan membuat keraguan,” tandasnya.(RI)