JAKARTA – Jaringan gas yang telah terbangun ternyata banyak yang bermasalah. Hal itu memicu efisiensi lantaran penyaluran gas memiliki losses cukup tinggi.

Jugi Prajugio, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), mengungkapkan dalam perhitungan wajar losses saat penyaluran gas bisa mencapai 2%, namun dibeberapa wilayah losses jauh lebih tinggi.

“Kenyataannya looses di atas 10% di beberapa tempat,” kata Jugi ditemui di Kementerian ESDM, Senin malam (9/9).

Tingginya losses ini tentu berdampak pada biaya operational and maintenance (OM) yang harus dikeluarkan. Ini tentu menambah beban badan usaha sehingga berpengaruh juga terhadap pengembalian investasi infrastruktur yang telah dibangun.

Menurut Jugi, losses disebabkan kualitas infrastruktur gas yang tidak optimal sehingga baru beroperasi beberapa tahun sudah terjadi berbagai kebocoran.

Jaringan gas yang ada sudah dibangun beberapa tahun lalu melalui penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kemudian ditender untuk dikerjakan oleh pihak lainnya

“Karena kerjaan yang lama. Kerjaan (konstruksi setelah selesai) dari kontraktor diserahkan kepada BUMN itu banyak yang bocor, banyak kejadian seperti itu. Koneksi antara pipa mungkin tidak bagus jadi bocor, cek saja beberapa badan usaha yang mengelola jargas ini di beberapa tempat problem (masalah),” ungkap Jugi.

Jugi mengatakan dengan tingginya biaya OM maka jadi wajar apabila ada usulan untuk menyesuaikan harga jargas di beberapa wilayah yang telah lama terbangun infrastruktur tersebut. Namun dia memastikan meskipun jadi disesuaikan harga jargas tetap akam dibawah harga gas Liquefied Petroleum Gas (LPG).

“Harga ideal di angka Rp 5.000/m3, tapi LPG kg Rp4.600/ m3 dan harga kita Rp 4.250 / m3. Jadi harga kita masih di bawah harga LPG, tapi badan usaha belum menikmati harga ekonomis begitu,” kata Jugi.(RI)