BALIKPAPAN – Kegiatan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Indonesia menurun dalam satu dekade terakhir. Menurut Andang Bachtiar, Ketua Komite Eksplorasi Nasional (KEN), penurunan itu akibat adanya beberapa aturan yang menghalangi kegiatan eksplorasi migas.

“Peraturan merupakan ujung dari operasi eksplorasi selama ini. Salah satu cara terbaik adalah dengan melihat kembali aturan-aturan itu. Bahkan, kalau perlu cabut saja Peraturan Pemerintah Nomor 79/2010. Itu membunuh exploration apetite dunia migas Indonesia,” kata Andang dalam acara Joint Convention Balikpapan IAGI-HAGI, dalam siaran persnya, Selasa.

PP No. 79 Tahun 2010 mengatur soal Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu. Dalam beleid ini diatur jenis-jenis biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dan jenisjenis biaya yang tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Regulasi ini menjadi persoalan karena hanya berlaku pada kontrak migas baru sedangkan kontrak migas lama masih mengacu pada aturan sebelumnya. Ini yang membuat perselisihan mengenai cost recovery masih cukup besar. Penghasilan yang akan dibagikan, yaitu penghasilan bruto dikurangi cost recovery, dan dari sinilah pemerintah mendapat bagian 85% dan kontraktor 15%. Dengan skema pembagian tersebut , kewajiban bukan pajak dan pajak dibebankan kepada kontraktor dan pemerintah sudah mendapatkan bagiannya dengan utuh, yaitu 85%.

Persentase bagi hasil 85% berbanding 15% ini berlaku selama kontrak berjalan. Hanya masalahnya hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Maka untuk mempertahankan perhitungan 85% dan 15% tersebut, perhitungan tarif pajak juga telah dipatok tetap dan berlaku tetap selama jangka waktu kontrak, yaitu tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar 35% dan tarif Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) sebesar 20%. Karena kewajiban bukan pajak, yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban pajak, yaitu Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) dan Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) menjadi beban kontraktor maka sudah sewajarnya pihak kontraktor fokus pada penelitian mengenai aturan perundangan yang menjadi dasar kewajiban tersebut.

Dengan tidak tercantumnya secara ekplisit persentase bagi hasil 85% dibanding 15% dalam kontrak — hanya gentlemen aggreement — maka penggunaan tarif pajak lebih rendah sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty antara negara asal kontraktor dan Indonesia menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak kontraktor.

Dia menjelaskan, dalam pengelolaan migas di Indonesia seringkali hambatan utamanya adalah kurang tegasnya pemerintah pada usaha penambahan cadangan melalui eksplorasi. Sehingga, pemanfaatan migas ini menjadi tidak optimal. “Optimal yang dimaksudkan tidak hanya produksi yang meningkat namun juga peningkatan jumlah cadangan melalui kegiatan eksplorasi. KEN sedang menargetkan penambahan cadangan potensi hingga 2,7 miliar barel minyak dan 14 TCF gas dalam lima tahun,” ujarnya.

Menurut Andang, saat ini potensi yang sudah tercatat ada 16,6 miliar barel minyak. “Yang penting, dalam urusan perizinan adalah penyelesaiannya dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui reformasi aturan. Jangan serahkan pada kontraktor,” ujarnya.(RA)